Jumat, 24 April 2009

Mencintai Rasulullah s.a.w.

Mencintai Rasulullah s.a.w. Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz
Mencintai Rasulullah, bagaimana bentuknya? Sekedar memujinya dalam berabagai kesempatan, seperti setiap hari kelahirannya? Sekedar membacakan salawat kepadanya? Cinta yang jujur akan menggerakkan seluruh dimensi kemanusiaan untuk berbuat sesuatu sebagai cerminannya. Cinta Rasulullah, adalah banyak menyebutnya, mengikuti sunnahnya, menegakkan risalahnya di dalam dirinya dan di atas bumi yang Allah ciptakan ini. Rasulullah SAW, pembawa cahaya yang menerangkan jalan hidup bagi manusia. Cahaya ini berupa Al Qur'an dan sunnahnya, pedoman dalam segala aktivitas, dengannya kebahagiaan dunia-akhirat bisa tercapai. Setiap insan tentu merindukan kebahagaiaan. Segala usaha yang diperjuangkan, dalam segala levelnya – diakui atau tidak – adalah upaya untuk mencapai kebahagiaan yang dirindukan. Tanpa kebahagiaan manusia akan tetap sengsara, tertatih-tatih dalam kegelapan. Rasulullah datang membawa kunci kebahagiaan yang dirindukan itu. Maka tentu sangat wajar jika setiap muslim wajib mencintainya. Perintah mentaati Allah dalam Al-Qur'an, selalu digandeng dengan perintah mentaati Rasulullah ( perhatikan QS:64:12 misalnya ). Ini menunjukkan bahwa mentaati Rasulullah SAW adalah berarti mentaati Allah SWT. Dan mengingkarinya berarti juga mengingkari Allah SAW. Demikian juga persaksian dua kalimat syahadat menegaskan bahwa seseorang tidak bisa masuk Islam jika hanya mengaku beriman kepada Allah tanpa mengakui kerasulan Muhammad SAW. Dari sini bisa dilihat bahwa mencintai Rasulullah adalah juga mencintai Allah. Artinya bila seorang harus mencintai Allah di atas segala-galanya termasuk dirinya, maka dalam mencitai Rasulullah juga harus demikian. Abdullah bin Hisyam ra, – dalam riwayat Imam Bukhari – bercerita : " Kami suatu hari bersama Nabi SAW , beliau menggandeng tangan Umar bin Khattab ra. Umar lalu berkata : Wahai Rasulullah, engkau saya cintai diatas segalanya selain diri saya sendiri. Rasulullah menjawab : tidak, wahai Umar, demi yang jiwa saya berada dalam genggamanNya, - ( imanmu tidak sempurna ) sampai kau mencintai saya lebih dari cintamu terhadap dirimu ". Tapi bagaimana cinta terhadap orang yang paling dekat, seperti anak, dan yang paling dimulyakan seperti orang tua. Dalam berbagai kejadian kita sering menemukan orang berani mengorbankan dirinya demi kehidupan seorang anak. Orang sering berani menempuh kesulitan apa saja, sampai yang paling membahayakan terhadap dirinya, demi pengabdian kepada orang tuanya. Akankah cinta kepada Rasulullah juga harus di atas ini? Abu Hurairah, ra, menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : " Demi yang jiwa saya dalam genggamanNya, tidak beriman seseorang di antara kalian sampai ia mencintai saya lebih dari cintanya terhadap orang tuanya dan anaknya ". ( HR. Bukhari ). Tidak hanya itu, cinta kepada Rasulullah SAW harus juga di atas cinta terhadap semua kerabat, harta kekayaan, dan semua manusia. Imam Muslim pernah meriwayatkan sebuah hadits dari Anas ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda : " Tidak beriman seorang hamba sampai ia mencintai saya lebih dari cintanya terhadap kerabatnya, hartanya dan semua manusia ". Mencintai Rasulullah, bagaimana bentuknya? Sekedar memujinya dalam berabagai kesempatan, seperti setiap hari kelahirannya? Sekedar membacakan salawat kepadanya? Cinta yang jujur akan menggerakkan seluruh dimensi kemanusiaan untuk berbuat sesuatu sebagai cerminannya. Cinta Rasulullah, adalah banyak menyebutnya, mengikuti sunnahnya, menegakkan risalahnya di dalam dirinya dan di atas bumi yang Allah ciptakan ini. Dr. Amir Faishol Fath.

Tidak ada komentar: