Minggu, 26 April 2009

Islam itu bukan (sekedar) Ritual dan Simbol

Memprihatinkan bila melihat kondisi umat islam sekarang. Semuanya bisa dilihat dari berbagai sisi. Di kota, islam nyaris tak berkumandang. Di desa, islam nyaris disesatkan. Di kalangan tua, islam mulai ditinggalkan. Di kalangan muda, islam nyaris tak dikenal. Di negara kita, islam selalu dipusingkan. Di pergaulan internasional, islam selalu disudutkan. Tanya kenapa?

Jawabannya mudah saja. Islam rapuh akan kepribadian umatnya. Coba intorpekasi diri kita masing-masing. Apakah kita sudah kaffah (menyeluruh) dalam berislam? Apakah akhlak kita sudah baik? Apakah interaksi kita dengan Al Qur’an cukup intens? Bukankah bangunan yang kuat, dibangun oleh detail yang mengagumkan?

Permasalahan yang ada berbeda beda bila kita tilik sudutnya. Lain padang lain ilalang. Namun, semuanya itu berakar dari satu permasalahan saja: pemahaman yang haq akan islam. Semakin parahnya kerusakan/kemaksiatan, mengindikasikan semakin jauhnya pemahaman yang benar akan islam. Sebaliknya, pemahaman yang benar akan membawa kepada kesempurnaan dalam berislam. Agama yang benar.

Kata agama dalam bahasa inggris disebut religion sebenarnya bermakna sangat berbeda dengan makna kata beragama dalam keseharian kita. Kata religion didefenisikan sebagai sebuah kepercayaan buta yang diikuti oleh rangkaian ritual keagamaan. Jauh berbeda dengan devenisi berislam bukan?

Rasanya akan menggurui pembaca bila saya mengajarkan apa itu islam. Namun, perlu ditekankan islam merupakan bagian penting kehidupan manusia yang menyatu dalam keseharian, jika manusia itu ingin bahagia dunia dan akhirat. Segala yang dilakukan di dunia ini bagi seorang muslim, berorientasi kepada kehidupan yang abadi. Setiap detik dan gerak seorang muslim senantiasa diliputi oleh tuntunan agama, Mulai dari bangun tidur di pagi hari, hingga tidur lagi di malam hari. Dari hal-hal yang sederhana hingga permasalahan yang kompleks. Semuanya dituntun dalam Al Qur’an dan dipraktekkan langsung oleh Rasul Allah, Muhammad salallahu alaihi wassalam.

Mungkin orang menganggap disitulah letak sulitnya islam. Dikit-dikit diatur. (Semoga yang masih berpikir seperti itu dihidayahi oleh Allah). Ups, jangan salah. Justru disanalah letak indahnya islam. Disanalah kita tahu bahwa Maha Penyayangnya Allah kepada hambanya. Allahlah yang Paling Tahu tentang manusia dan kebutuhannya. Sudah banyak penelitian yang mengkaji manfaat-manfaat ibadah islam, seperti sholat, puasa, zakat. Semuanya tidak mungkin dibahas satu –persatu dalam tulisan ini.

Intinya, segala kebaikan dan ibadah yang kita lakukan pada hakikatnya akan kembali lagi kepada pribadi yang menjalankan itu sebagai kebaikan atasnya. Sebaliknya, orang yang berbuat maksiat/ dosa, maka dosanya itu yang menghinakannya. Kami tiada menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri (QS. An Nahl[16]: 118)

Gejala religion mulai merambah kepada umat saat ini. Tidak di kota, di desa, kaum muda dan tua juga mulai ogah-ogahan mengenal islam secara benar. Termasuk juga di kalangan para aktivis dakwah, baik para ustadz maupun ikhwan/akhwat kampus -walau jumlahnya relatif lebih sedikit-. Namun, wabah pertopengan dalam beragama benar-benar dalam kondisi yang gawat, merambah semua kalangan. Sehingga saat sekarang, kita sulit sekali menemukan sosok yang benar-benar paham akan islam.

Secara kasat mata, mungkin kita bisa sedikit berbahagia akan mulai bangkitnya gerakan dakwah islam. Namun, masalah ini tidak bisa diabaikan. Apalagi bagi seorang pendakwah. Islam bukan hitamnya kening; islam bukan seberapa panjangnya jenggot; islam bukan tingginya mengangkat celana hingga betis; islam bukan kerasnya berzikir; islam bukan rajinnya tilawah; islam bukan rapihnya memakai peci dan koko; islam tidak mengatur bacaan tajwid dan irama saja; islam bukan seberapa panjangnya jilbab dan menunduk ketika berjalan; aktivis dakwah bukan sosok yang berbahasa arab denagan buta, selalu berucap afwan dan syukron, sedangkan tasfir Al Quran tidak tahu. Semuanya itu adalah kewajiban, sunnah serta icon agama islam yang tidak perlu diriyakan. Wajib ditegakkan, bukan dibanggakan. Ibadah juga bukan pelepas hutang, menggugurkan kewajiban.

Di pedesaan -walau tidak semuanya- islam benar-benar dijadikan proses ritual saja. Tidak heran jika masih banyak tindakan syirik. Penduduk ogah-ogahan bila diajak ke masjid. Yang hanya tersisa hanya penghormatan bagi mereka yang ‘agak’ alim beragama. Ibadah dianggap hanya suatu kebajikan semata. Keshalehan dianggap pangkat. Ustadz adalah orang yang ahli ibadah. Walau dihargai, namun menjadi imam/ustadz di kampung sangatlah berat. Kadang kita prihatin, ketika tidak ada jamaah datang ke masjidnya. Dan Ia pun dimarahi karena bacaan yang terlalu panjang dan lama. Lebih parah lagi, para ustadz ini pun masih bingung apa itu islam. Islam adalah agama nenek moyang kami, katanya. Na’udzubillah.

Agaknya perkotaan mempunyai ghiroh yang lebih baik daripada pedesaan. Kesadaran dalam beragama - bukan religion- memang teruji dan terlatih oleh kuatnya fitnah dunia di kota. Walau umatnya sedikit, namun berkualitas. Berbeda dengan di desa zaman sekarang, walau umatnya banyak tapi hanya sebatas kuantitas. Kelemahan di kota terletak pada kurang sumberdaya ustadz; godaan dunia; dan banyaknya paham-paham sesat yang mengatasnamakan islam seperti ahmadyah, JIL (Jaringan Islam Lieur) dan sekularisme.

Para Syeikh dan Ulama memang kadang sulit ditemukan di kota. Kalaupun ada, sebagian besar belum bisa dijadikan uswah dalam beragama. Kadangkala ustadz diidentikkan dengan profesi belaka. Ustadz dianggap profesi, bukan pendakwah. Na’udzubillahimindzalik.

Marilah kita selalu bertafakkur. Mempelajari kembali apa itu islam. Mengapa kita harus berislam. Jangan-jangan selama ini kita hanya berbuat sia-sia. Kita menjalankan syariat dengan buta. Beribadah karena riya’. Kita tidak merasakan nikmatnya bermunajat kepada Allah. Kita suka melakukan bid’ah dan meninggalkan sunnah. Mungkin islamnya kita hanya karena memang orangtua dan nenek moyang kita orang islam sejak dulu?

Tidak ada komentar: