Jumat, 24 April 2009

istem Nilai Tukar Uang dalam Islam

Sistem Nilai Tukar Uang dalam Islam Cetak E-mail
Ditulis oleh Untung Kasirin*

Sejarah mencatat, dalam sistem moneter Internasional pernah dikenal tiga macam sistem nilai tukar mata uang (kurs valas). Tiga sistem tersebut adalah Fixed Exchange Rate System, Floating Exchange Rate System dan Pegged Exchange Rate System.

Era fixed exchange rate system ditandai dengan berlakunya Bretton Woods System sejak 1 Maret 1947. Sistem ini menuntut agar nilai suatu mata uang dikaitkan atau convertible terhadap emas atau gold exchange standard. Pada waktu itu, mata uang dolar AS menjadi acuan (numeraire), di mana semua mata uang yang terikat dengan sistem ini dikaitkan dengan USD. Untuk mencipta uang senilai $35, Federal Reserve Bank (Bank Sentral Amerika) harus mem-backup dengan emas senilai 1 ounce atau 28,3496 gram. Dengan demikian, nilai mata uang secara tidak langsung dikaitkan dengan emas melalui USD.
Namun ternyata, The Fed tergiur mencipta dollar melebihi kapasitas emas yang dimiliki. Akibatnya, terjadi krisis kepercayaan masyarakat dunia terhadap dolar AS. Hal tersebut ditandai dengan peristiwa penukaran dollar secara besar-besaran oleh negara-negara Eropa. Adalah Perancis, pada masa pemerintahan Charles de Gaule, negara yang pertama kali menentang hegemoni dollar dengan menukaran sejumlah 150 juta dollar AS dengan emas. Tindakan Perancis ini kemudian diikuti oleh Spanyol yang menarik sejumlah 60 juta dollar AS dengan emas. Praktis, cadangan emas di Fort Knox berkurang secara drastis. Ujungnya, secara sepihak, Amerika membatalkan Bretton Woods System melalui Dekrit Presiden Nixon pada tanggal 15 Agustus 1971, yang isinya antara lain, USD tidak lagi dijamin dengan emas. ‘Istimewanya’, dollar tetap menjadi mata uang internasional untuk cadangan devisa negara-negara di dunia. Pada titik ini, berlakulah sistem baru yang disebut dengan floating exchange rate.
Floating exchange rate atau sistem kurs mengambang adalah sistem yang ditetapkan melaui mekanisme kekuatan permintaan dan penawaran di bursa valas dan sama sekali tidak dijamin logam mulia. Pemerintah melalui Bank Sentral bebas menerbitkan sejumlah berapapun uang. Hal inilah yang menyebabkan nilai mata uang cenderung terdepresiasi, baik terhadap mata uang kuat (hard currency) maupun terhadap harga barang. Kondisi ini kemudian diperparah oleh aksi spekulan yang mengakibatkan nilai mata uang berfluktuasi secara bebas. Meski bisa dikendalikan melalui intervensi—yang dikenal dengan managed floating, otoritas pemerintah suatu negara cenderung menghindari hal ini karena membutuhkan sumber daya yang sangat besar yang berupa cadangan devisa. Berakhirnya fixed exchange rate dan bermulanya floating exchange rate, konon ditengarai sebagai awal dari berbagai rangkaian kesulitan moneter yang dikenal dengan “krisis moneter internasional” (Hamdy Hady, 2001).
Sistem yang ketiga, pegged exchange rate ditetapkan dengan jalan mengaitkan mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain atau sejumlah mata uang tertentu yang biasanya merupakan mata uang kuat (hard currency). Sistem ini pernah dijalankan antara lain oleh negara-negara Afrika serta Eropa. Secara hakikat, sistem ini tak jauh beda dengan floating exchange rate system. Hal ini dikarenakan mekanisme hard currency sebagai mata uang yang dipagu (pegged) masih ditentukan melalui kekuatan supply dan demand pada bursa valas dalam hal mata uang yang dijadikan sebagai acuan.

Sistem Moneter Islam
Pertanyaannya, dari ketiga sistem moneter di atas, manakah yang sesuai dengan konsep ekonomi Islam? Beberapa argumen muncul. Yang paling dianggap benar, namun sering dianggap radikal bahkan oleh pengusung ekonomi Islam sendiri adalah kembali menggunakan mata uang fisik dinar dan dirham (full bodied money). Yang moderat mengusulkan supaya mata uang sekarang agar di-backup dengan emas sebagaimana Bretton Woods. Sedangkan yang paling lunak adalah sebagaimana seperti adanya sekarang, hanya bagaimana pemerintah mengatur supaya tidak ada lagi unsur maghrib (masyir ‘spekulasi’, gharar ‘penipuan’ dan riba) dalam sistem moneter yang berlaku. Dari ketiga usulan itu, penulis dengan tegas menolak yang disebutkan terakhir berdasarkan kenyataan bahwa sistem moneter yang ada sekarang memungkinkan pihak yang mengejar keuntungan pribadi melakukan aksi maghrib tersebut. Terbukti, betapapun pemerintah menghimbau para spekulan, aksi spekulasi di bursa valas masih tetap gencar.
Adapun alternatif yang pertama, saat ini akan (masih) sulit diwujudkan. Kesulitan ini terutama karena dinar dan dirham—meski sebenarnya merupakan mata uang dari luar Islam yaitu Romawi dan Persia—telah dicitrakan sebagai mata uang Islam. Menurut penulis, seandainya negara-negara Islam mengusulkan kepada dunia untuk menggunakan dinar dirham, akan banyak penolakan terutama Barat yang phobia terhadap Islam.
Dengan begitu, peluang terbesar ada pada usulan moderat, yaitu agar mata uang-mata uang sekarang kembali di-backup dengan emas—tentu dengan beberapa penyempurnaan dari system sebelumnya (Bretton Woods). System inilah yang oleh kalangan barat ingin kembali digulirkan yang dikenal dengan istilah Bretton Woods II. Usulan ini bahkan didukung oleh nama-nama besar seperti Joseph E. stiglitz (Ekonom Peraih Nobel dari Amerika), Gordon Brown (PM Inggris) hingga Nicholas Sarkozy (Presiden Perancis).

Keunggulan Gold Exchange Standard
Ada beberapa alasan mengapa mesti kembali pada gold exchange standard daripada sistem nilai tukar yang lain. Pertama, jumlah uang yang beredar di masyarakat bisa terkendali dengan baik dan tidak merajalela sebagaimana sekarang. Kondisi ini pada gilirannya akan mempertahankan kestabilan nilai tukar mata uang yang merupakan kondisi yang kondusif bagi perekonomian.
Kedua, dengan menggunakan gold exchange standard, perekonomian suatu Negara secara otomatis bisa melakukan mekanisme penyesuaian (adjustment) posisi BOP (Balance of Payment), yakni kembalinya posisi neraca pembayaran pada kondisi equilibrium bahkan surplus. Mekanisme ini sebagaimana dijelaskan oleh David Hume yang dikenal dengan “price specie flow mechanism” sebagai berikut. Ketika suatu negara mengalami defisit BOP, persediaan emas turun karena lari ke luar negeri. Larinya emas ke luar negeri berakibat turunnya money supply domestik yang disertai dengan turunnya harga-harga barang. Akibatnya, harga barang dalam negeri menjadi kompetitif yang pada gilirannya akan kembali meningkatkan ekspor pada kondisi semula atau bahkan lebih besar.
Ketiga, keuntungan mengunakan gold exchange standard adalah bahwa emas secara instrinsik menjaga nilainya dari fluktuasi bebas sebagaimana mata uang kertas. Untuk melakukan transaksi perdagagan, gold standard tidak memerlukan hedging yang pada hakikatnya merupakan barrier bagi perdagangan.

Beberapa Catatan
Di depan telah disinggung bahwa perlu adanya upaya penyempurnaan dari system Bretton Woods jika nantinya Bretton Woods II ingin kembali diwujudkan. Pertama, mata uang yang dipakai sebagai standar (numeraire) bukanlah mata uang negara atau kelompok negara tertentu karena cenderung terjadi hegemoni dari negara yang mata uangnya dijadikan sebagai standard tersebut sebagaimana kasus USD. Mata uang numeraire adalah mata uang independen yang diakui secara internasional.
Kedua, harus ada kontrol ketat bahwa untuk menciptakan mata uang standar tersebut harus tersedia emas yang memadai yang disimpan pada otoritas keuangan internasional. Selain itu, otoritas moneter internasional tersebut harus merupakan representasi seluruh negara di dunia, bukan corong kelompok kekuatan tertentu.

Referensi
Eramuslim Digest, Islamic Thematic Handbook, edisi koleksi 8.
Dr. Hamdy Hady, Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Keuangan Internasional. Penerbit: Galia Utama (2001).
Luthfi Hamidi, Gold Dinar. Penerbit: Senayan Publishing Jakarta (2006).

*Mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI (STEI SEBI) Jakarta

Menjawab Keraguan akan Ekonomi Syariah

Menjawab Keraguan akan Ekonomi Syariah Cetak E-mail
Ditulis oleh Untung Kasirin*

Semakin hari, kondisi bangsa ini semakin memprihatinkan. Hampir setiap tahun penduduk Indonesia senantiasa dihadapkan dengan berbagai permasalahan baik yang sifatnya force majeur maupun yang disebabkan ulah manusia sendiri seperti musibah gempa bumi, kebakaran-kebakaran yang sering terjadi hingga banjir yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia pada umumnya dan ibu kota pada khususnya. Tidak cukup dengan itu, masyarakat juga masih harus berhadapan dengan masalah kenaikan harga-harga kebutuhan pokok hingga kelangkaan bahan bakar minyak terutama minyak tanah yang semakin melengkapi penderitaan masyarakat.

Melihat permasalahan yang begitu complicated seperti di atas, penulis sangat yakin, dengan hanya mengandalkan peran pemerintah saja tidak akan bisa mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Untuk keluar dari jerat permasalahan ini, seluruh komponen bangsa, yaitu pemerintah dan rakyat harus bekerja sama dan saling memercayai satu sama lain.

Namun di sisi lain, pemerintah tampaknya belum cukup serius menjalin kerja sama dengan masyarakat terutama umat Islam dalam masalah perekonomian. Padahal, masyarakat muslim adalah mayoritas di negeri ini dan mencatat sejarah yang mengagumkan sekaligus mengharukan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tercatat dalam sejarah bahwa para pemuka umat Islam-lah yang sering memicu perlawanan terhadap pemerintahan kolonial. Dalam hal pertumbuhan dan perkembangan Ekonomi Syariah dunia yang begitu pesat, aplikasi Ekonomi Syariah dalam konteks ke-Indonesia-an justru acap kali mengahadapi ganjalan yang berasal dari bangsa sendiri.

Penentangan Rancangan Undan-Undang SBSN (Sukuk) dan Perbankan Syariah oleh salah satu fraksi di DPR, misalnya. Dengan alasan klise, yakni penerapan syariat agama tertentu yakni agama Islam dalam kehidupan bangsa Indonesia, mereka seperti ketakutan bahwa Islam lambat laun akan menggantikan dasar negara Indonesia. Padahal, sejarah mencatat bahwa umat Islam Indonesia adalah umat berjiwa besar serta legowo yang karena alasan persatuan bangsa rela menerima penghapusan klausul pada sila pertama yang berbunyi "dan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya." Padahal lagi, dengan berlakunya RUU tersebut banyak sekali manfaat yang akan diperoleh tidak hanya bagi umat Islam tapi masyarakat Indonesia secara keseluruhan seperti masuknya investor asing yang sangat potensial terutama negara-negar Timur Tengah.

Penentangan dari beberapa elemen pemerintah tersebut tak hanya melukai umat Islam tetapi menghambat pertumbuhan perekonomian pada umumnya, di mana ekonomi syariah sedang menjadi alternatif utama baik dunia maupun Indonesia menggantikan ekonomi kapitalis yang menurut beberapa pendapat tengah berada di ambang kehancuran.



Peran Nyata Ekonomi Syariah

Di antara peran ekonomi syariah yang harusnya menjadi bahan pertimbangan golongan yang melakukan penentangan terhadap kedua RUU tersebut adalah peran nyata ekonomi syariah serta instrumen ekonomi syariah dalam menjawab tantangan serta permasalan perekonomian. Praktik perbankan syariah yang adil, yang berbasis bagi hasil selain menguntungkan juga berhasil menggaet nasabah dengan indikasi pertumbuhannya yang sangat pesat. Selain itu, praktik sektor keuangan syariah senantiasa bersesuaian dengan sektor riil, yang pelaku utamanya adalah masyarakat menengah ke bawah. Makin besar porsi sektor keuangan syariah beroperasi makin besar pula sektor riil yang beroperasi sehingga tidak terjadi ketimpangan antara sektor riil dan sektor moneter serta makin sempitnya jurang pemisah si kaya dan si miskin. Dengan tumbuhnya sektor riil, pertumbuhan ekonomi bisa dirasakan masyarakat secara lebih adil dam merata.

Selain itu, sektor syariah yang tidak bisa dianggap remeh adalah peran sosial ekonomi syariah melalui instrumen-instrumennya seperti zakat, infak/sedekah dan wakaf. Melalui pengelolaan yang optimal, zakat, infak/sedekah dan wakaf berpotensi besar mengatasi berbagai permasalahan bangsa baik ekonomi maupun sosial.

Berbeda dengan industri perbankan syariah sebagai unit bisnis, instrumen ekonomi syariah seperti zakat, infak/sedekah dan wakaf berperan besar dalam mewujudkan keadilan ekonomi dan sosial dalam masyarakat. Zakat dan infak/sedekah berperan terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat miskin. Peran tersebut sangat sesuai dengan cita-cita pemerintah yang diamanahkan Undang-Undang yang berbunyi; "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara." Sedangkan wakaf, memiliki peran yang besar dalam menunjang serta mendukung pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat. Melalui wujudnya yang biasanya berupa asset kekal, wakaf sangat sesuai untuk pembangunan sarana-sarana seperti rumah sakit, sekolah, perpustakaan dan sebagainya. Sebagai bukti akan peran wakaf yang memihak rakyat adalah apa yang dicontohkan oleh beberapa lembaga seperti Dompet Dhuafa dengan Lembaga Kesehatan Cumu-Cuma (rumah sakit bebas biaya bagi orang miskin) dan Sekolah Smart Ekselensia (sekolah bebas biaya). Sebelumnya, kita juga bisa melihat peran UII dan Pondok Modern Gontor dalam mengelola wakaf. Dan perlu diketahui, peran wakaf—selain sarana ibadah—tidak hanya terbatas untuk umat Islam akan tetapi bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dari agama manapun.

Melihat peran yang besar dari ekonomi syariah tersebut, sepatutnya-lah bagi pemerintah untuk memberikan perhatian serius. Perhatian tersebut bisa berupa dukungan penuh terhadap praktik ekonomi syariah, salah satunya dengan meyakinkan beberapa pihak yang menentang penerapan RUU yang berkaitan dengan ekonomi syariah bahwa ekonomi syariah tidak hanya bermanfaat bagi umat Islam akan tetapi bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Sebisa mungkin pemerintah harus turut serta dalam mempercepat pemberlakuan UU tersebut. Sudah menjadi tugas pemerintah untuk mendorong pertumbuhan serta perkembangan ekonomi syariah yang saat ini menjadi tuntutan masyarakat secara luas. Dalam hal zakat, upaya pemerintah yang bisa dilakukan adalah dengan memberlakukan zakat sebagai pengurang pajak penghasilan sebagaimana telah dicontohkan negara jiran Malaysia.

*Mahasiswa Semester III Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI)SEBI.

Hijrah dari Bank Konvensional ke Bank Syariah

Hijrah dari Bank Konvensional ke Bank Syariah Cetak E-mail
Ditulis oleh Agustianto
(Refleksi Tahun Baru Islam 1430 Hijriyah)
Setiap memasuki tahun baru Islam (tahun hijriyah), kita diingatkan kepada peristiwa paling bersejarah, yakni hijrahnya Nabi Muhammad Saw dari Mekkah ke Madinah yang terjadi 1430 tahun yang lalu. Dalam sejarah Islam, peristiwa hijrah merupakan momentum paling penting dan monumental. Hijrah telah membawa perubahan dan pembaharuan besar dalam pengembangan Islam dan masyarakatnya kepada sebuah peradaban yang maju dan berwawasan keadilan, persaudaraan, persamaan, penghargaan HAM, demokratis, inklusif, kejujuran, menjunjung supremasi hukum, yang kesemuanya dilandasi dan dibingkai dalam koridor nilai-nilai syari’ah.
Hijrah juga telah mengantarkan terwujudnya negara madani yang sangat modern, bahkan dalam konteks masyarakat pada waktu itu, terlalu modern. Demikian pendapat oleh Robert N Bellah seorang ahli sosiologi agama terkemuka dalam bukunya Beyond Bilief (1976 h 150).
Ismail al Faruqi menyebut hijrah sebagai langkah awal dan paling menentukan untuk menata masyarakat muslim yang berperadaban. Jadi, hijrah bukanlah pelarian untuk mencari suaka politik atau aksi peretasan keperihatinan karena kegagalan mengembangkan Islam di Mekkah, melainkan sebuah praktis reformasi yang penuh strategi dan taktik jitu yang terencana dan sitematis. Tegasnya, substansi hijrah merupakan strategi besar (grand strategy) dalam membangun peradaban Islam. oleh karena itu tepatlah apa yang dikatakan Hunston Smith dalam bukunya the Religion Man, bahwa peristiwa hijrah merupakan titik balik dari sejarah dunia.
Berdasarkan kenyataan itulah Sayyidina Umar bin Khattab menetapkannya sebagai awal tahun hijriyah. Dalam konteks ini ia menuturkan : “al hijrah farragat bainal haq wall bathil fa-arrikhuha” (Artinya : hijrah telah memisahkan antara yang haq dan yang bathil, maka jadikan kamulah momentum itu sebagai awal penanggalan kalender Islam).
J.H. Kramers dalam Shorter Encycolopeadia of Islam meneybut hijrah sebagai sebagai strategi jitu dan cerdas dalam pembangunan imperium Arab (baca ; Islam). Berdasarkan pernyataan-pernyataan para pakar di atas, maka sangat relevan ungkapan Prof Dr Fazlur Rahman yang menyebut hijrah sebagai Marks of the founding of islamic community.
Apabila kita cermati makna filosofis hijrah secara mendalam, hijrah sesungguhnya mengandung makna perubahan, pembaharuan dan reformasi yang yang luar biasa. Salah satu perubahan yang mendesak dan mesti segera dikukan adalah perubahan dalam sistem ekonomi. Saat ini kita dicengkram oleh system ekonomi ribawi, maka saatnya sekarang kita hijrah meninggalkan system tersebut menuju system ekonomi syariah. Salah satu bentuk penerapan ekonomi syariah saat ini yang paling berkembang adalah institusi perbankan. Karena itu, topik tulisan ini berkaitan dengan perbankan syariah yang dikaitkan dengan spirit hijrah.

Hijrah dan Spirit Reformasi Ekonomi
Banyak upaya yang dilakukan Nabi Muhammad Saw dalam melakukan reformasi ekonomi, baik di bidang moneter, fiskal, mekanisme pasar (harga), peranan negara dalam menciptakan pasar yang adil (hisbah), membangun etos entrepreneurship, penegakan etika bisnis, pemberantasan kemiskinan, pencatatan transaksi (akuntansi), pendirian Baitul Mal, dan sebagainya.
Beliau juga banyak mereformasi akad-akad bisnis dan berbagai praktek bisnis yang fasid (rusak), seperti gharar, ihtikar, talaqqi rukban, ba’i najasy, ba’i al-‘inah, bai’ munabazah, mulamasah, muhaqalah. dan berbagai bentuk bisnis maysir atau spekulasi lainnya. dsb. Selanjutnya Nabi Muhammad juga mengajarkan konsep transaksi valas (sharf) yang sesuai syariah, pertukaran secara forward atau tidak spot (kontan) dilarang, karena sangat rawan kepada praktik riba fadhl. Apa yang dijarkan Nabi tersebut kini sedang diterapkan di lembaga perbankan Islam.

Pelarangan Riba.
Dari berbagai reformasi yang dilakukan Nabi Muhammad Saw, praktek riba mendapat sorotan dan tekanan cukup tajam. Banyak ayat dan hadits yang mengecam riba dan menyebutnya sebagai perbuatan terkutuk dan dosa besar yang membuat pelakunya kekal di dalam neraka.
Paradigma pemikiran masyarakat yang telah terbiasa dengan system riba (bunga) digesernya menjadi paradigma syariah secara bertahap. Menurut para ahli tafsir, proses perubahan tersebut memakan waktu 22 tahunan. Pada awalnya hampir semua orang beranggapan bahwa system riba (bunga) akan menumbuhkan perekonomian, tetapi justru menurut Islam, riba malah merusak perekonomian. (lihat surah 39 : 39-41).
Saat ini, juga masih banyak kaum muslimin (awam) yang menganggap system bunga pada perbankan dan keuangan dapat menumbuhkan ekonomi masyarakat. Mereka berpandangan seperti itu, karena banyak pengaruh. Pertama, pengaruh pendidikan barat yang mengajarkan system kapitalisme, kedua, pengaruh informasi keilmuan yang minim dengan ekonomi Islam. Ketiga, pengaruh kebiasaan hidup dimana orang-orang sudah terbiasa dengan system bunga, sehingga menaggangpnya tak adac masalah. Keempat, pengaruh perut, dimana banyak orang yang mencari makan di lembaga riba, tanpa pekerjaan itu, kehidupannya terancam.

Hijrah fi’liyah (Perilaku)
Hijrah yang kita lakukan saat ini bukanlah hijrah dalam bentuk fisik (hijrah badaniyah), yakni berpindah dari satu negeri ke negeri lainnya. Hijrah yang seharusnya kita lakukan adalah hijrah perilaku. Inilah yang disabdakan Nabi Muhammad Saw, “Wal Muhajiru man hajara ma nahallahu ‘anhu”. (Berhijrah itu ialah meninggalkan apa yang dilarang Allah).
Allah melarang kita melaksanakan transaki riba, seperti bunga dalam perbankan. Seluruh pakar ulama (pakar ekonomi Is;am sdunia ) telah ijma’ tentang keharaman bunga bank tersebut. Para peneliti dari berbagai negara menyimpulkan tidak ada seorangpun yang membantah keharaman bunga bank. Riba merupakan dosa besar yang harus dijauhi. Alquran dan sunnah sangat banyak mengutuk dn mengecam perlalu riba. Maka saatnya sekarang umat Islam wajib hijrah ke system ilahi (ekonomi Islam) yang adil dan maslahah.
Dalam hadits riwayat muslim bahwa Jabir berkata, “Rasulullah melaknat dan mengutuk orang memakan riba (kreditur) dan orang yang memberi makan orang lain dengan riba (debitur). Rasul juga mengutuk pegawai yang mencatat transaksi riba dan saksi-saksinya. Nabi SAW bersabda, “Mereka semuanya sama”.
Menurut sebuah hadits riwayat Bukhari Muslim bahwa Nabi SAW bersabda, “Tinggalkanlah tujuh perkara yang membinasakan. Para sahabat bertanya, “Apakah itu ya Rasul?. Beliau menjawab, syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa orang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri ketika peperangan berkecamuk, menuduh wanita suci berzina”. (HR..dari Abu Hurairah).
Selanjutnya, Abbdullah bin Mas’ud memberitakan bahwa Nabi SAW bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, sedang yang paling ringan ialah seorang yang menzinai ibunya sendiri”. (HR.Ibnu Majah dan Hakim).
Dalam hadits lain Nabi barsabda, “Empat golongan yang tidak dimasukkan ke dalam syorga dan tidak merasakan nikmatnya, yang menjadi hak prerogatif Allah, Pertama, peminum kahamar,Kedua pemakan riba, Ketiga, pemakan harta anak yatim dan keempat, durhaka kepada orang tuanya”.(H.R. Hakim).
Abdullah bin Hanzalah, meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, Satu dirham riba yang diambil seseorang, maka dosanya di sisi Allah lebih besar dari tiga puluh enam kali berzina yang dilakukannnya dalam islam”.(H.R. Darul Quthny)
Diriwayatkan oleh Anas bahwa Rasulullah SAW telah berkhutbah dan menyebut perkara riba dengan bersabda,”Sesungguhnya satu dirham yang diperoleh seseorang dari riba, lebih besar dosanya di sisi Allah dari tiga puluh enam kali berzina. Dan sesungguhnya sebesar-besar riba ialah mengganggu kehormatan seorang muslim”. (H.R. Baihaqi dan Ibnu Abu Dunya).
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW bersabda, “Apabila zina dan riba telah merajalela dalam suatu negeri, maka sesunggguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah diturunkan kepada mereka”.(H.R. Hakim)
Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, bahwa Nabi SAW bersabda, Jauhilah dosa-dosa yang tak terampunkan, yaitu, pertama, curang (menipu &korupsi), siapa yang curang, maka pada kiamat nanti, akan didatangkan kepadanya siksa. Kedua, pemakan riba, barang siapa memakan riba, maka ia dibangkitkan pada hari kiamat nanti dalam keadaan gila dan membabi buta. (H.R. Thabrani).

Penutup
Momentum tahun baru Hijrah 1430 H ini hendaknya memberikan spirit hijrah ekonomi (hijrah iqtishadiyah) kepada kaum muslimin Indonesia untuk segera hijrah dari belenggu ekonomi kapitalistik ribawi kepada ekonomi syariah. Jika selama ini lembaga perbankan yang kita gunakan adalah lembaga perbankan konvensional, maka di tahun depan (1430 H), kita hijrah ke perbankan syariah. Semangat dan spirit hijrah harus kita implementasikan secara riil dalam kehidupan kita dewasa ini. Kita harus segera hijrah dan berubah. ”Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang melakukan perubahan akan nasibnya”. (Ar-Ra’d : 110.
Sistem perbankan konvensional yang menerapkan bunga terbukti telah membawa bencana besar bagi ekonomi semua negara. Bacalah sejarah krisis selama seratus 100 tahun, tulisan Glyn Davis dan Roy Davis. Semuanya krisis keuangan dan perbankan. Krisis financial yang terjadi saat ini, menunjukkan bahwa system ekonomi kapitalisme yang berbasis riba, maysir dan gharar telah terbukti nyata tidak bisa dijadikan sebagai system ekonomi untuk mensejahteraan ekonomi manusia secara adil dan ampuh, tetapi malah sebaliknya menimbulkan kesengsaraan ekonomi, kesenjangan dan kehancuran ekonomi banyak negara.
Di Indonesia, lembaga perbankan konvensional telah menguras APBN setiap tahun dalam jumlah ratusan triliun dalam bentuk bunga obligasi dan bunga SBI, Belum lagi kasus BLBI yang menghisap uang negara lebih dari 650 triliun rupiah. Ini adalah fakta yang memilukan bagi kesejahteraan bangsa. Sistem bunga telah menimbulkan penderitaan dan kemiskinan yang menyakitkan bagi bangsa Indonesia. Karena itu kalau ingin selamat, segeralah hijrah ke perbankan syariah. (Penulis adalah Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Pascasarjana di Empat Perguruan Tinggi di Jakarta, UI,Trisakti,Paramadina dan UI Az-Zahra)

Malam "Nisfu Sya'ban

Malam "Nisfu Sya'ban" Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz
Suatu malam rasulullah salat, kemudian beliau bersujud panjang, sehingga aku menyangka bahwa Rasulullah telah diambil, karena curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau dan ternyata masih bergerak. Setelah Rasulullah usai salat beliau berkata: "Hai A'isyah engkau tidak dapat bagian?". Lalu aku menjawab: "Tidak ya Rasulullah, aku hanya berfikiran yang tidak-tidak (menyangka Rasulullah telah tiada) karena engkau bersujud begitu lama". Lalu beliau bertanya: "Tahukah engkau, malam apa sekarang ini". "Rasulullah yang lebih tahu", jawabku. "Malam ini adalah malam nisfu Sya'ban, Allah mengawasi hambanya pada malam ini, maka Ia memaafkan mereka yang meminta ampunan, memberi kasih sayang mereka yang meminta kasih sayang dan menyingkirkan orang-orang yang dengki" (H.R. Baihaqi)
Seri ke-227, Kamis, 25 Oktober 2001

Tanya: Saya ingin menanyakan mengenai Nisfu Sya'ban apakah artinya dan apa yang sepatutnya kita lakukan pada malam Nisfu Sya'ban tersebut apakah ada hadisnya? Jazakumullah...

Dewi - Batam


Jawab:

Berkenaan dengan malam Nisfu (pertengahan) Sya'ban ada beberapa permasalahan yang patut diketahui: Tentang keutamaan malam ini, terdapat beberapa hadis yang menurut sebagian ulama sahih. Diantaranya hadis A'isyah: "Suatu malam rasulullah salat, kemudian beliau bersujud panjang, sehingga aku menyangka bahwa Rasulullah telah diambil, karena curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau dan ternyata masih bergerak. Setelah Rasulullah usai salat beliau berkata: "Hai A'isyah engkau tidak dapat bagian?". Lalu aku menjawab: "Tidak ya Rasulullah, aku hanya berfikiran yang tidak-tidak (menyangka Rasulullah telah tiada) karena engkau bersujud begitu lama". Lalu beliau bertanya: "Tahukah engkau, malam apa sekarang ini". "Rasulullah yang lebih tahu", jawabku. "Malam ini adalah malam nisfu Sya'ban, Allah mengawasi hambanya pada malam ini, maka Ia memaafkan mereka yang meminta ampunan, memberi kasih sayang mereka yang meminta kasih sayang dan menyingkirkan orang-orang yang dengki" (H.R. Baihaqi) Menurut perawinya hadis ini mursal (ada rawi yang tidak sambung ke Sahabat), namun cukup kuat.


Dalam hadis Ali, Rasulullah bersabda: "Malam nisfu Sya'ban, maka hidupkanlah dengan salat dan puasalah pada siang harinya, sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada malam itu, lalu Allah bersabda: "Orang yang meminta ampunan akan Aku ampuni, orang yang meminta rizqi akan Aku beri dia rizqi, orang-orang yang mendapatkan cobaan maka aku bebaskan, hingga fajar menyingsing." (H.R. Ibnu Majah dengan sanad lemah).


Ulama berpendapat bahwa hadis lemah dapat digunakan untuk Fadlail A'mal (keutamaan amal). Walaupun hadis-hadis tersebut tidak sahih, namun melihat dari hadis-hadis lain yang menunjukkan kautamaan bulan Sya'ban, dapat diambil kesimpulan bahwa malam Nisfu Sya'ban jelas mempunyai keuatamana dibandingkan dengan malam-malam lainnya.


Bagaimana merayakan malam Nisfu Sya'ban? Adalah dengan memperbanyak ibadah dan salat malam dan dengan puasa, namun sebagaimana yang dilakukan Rasulullah, yaitu dengan secara sendiri-sendiri. Adapun meramaikan malam Nisfu Sya'ban dengan berlebih-lebihan seperti dengan salat malam berjamaah, Rasulullah tidak pernah melakukannya. Sebagian umat Islam juga mengenang malam ini sebagai malam diubahnya kiblat dari masjidil Aqsa ke arah Ka'bah.

Adapun apa yang sering dilakukan oleh sebagian umat Islam, yaitu Salat Malam Nisfu Sya'ban sebanyak 100 rakaat, ini tidak ada landasannya dan termasuk bid'ah. Syeikh Abdurrahman bin Ismail al-Muqaddisi telah mentahqiq masalah ini. Demikian juga tidak ada do'a khusus untuk malam nisfu Sya'ban, namun cukup dengan do'a-do'a umum terutama do'a yang pernah dilakukan Rasulullah. Jadi sangat dianjurkan untuk meramaikan malam Nisfu Sya'ban dengan cara memperbanyak ibadah, salat, zikir membaca al-Qur'an, berdo'a dan amal-amal salih lainnya.

Taubat

Taubat Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz
Tidak sedikit orang-orang saleh awalnya adalah orang-orang yang sangat jahat saat mudanya. Setelah bertaubat, ia beristiqomah dalam berbuat baik dan pengabdian kepada Allah. Beberapa di antara mereka, pada akhirnya, menjadi tokoh panutan karena kesucian dan perilaku-perilaku yang membebaskan. Konon, Sunan Kalijaga adalah salah satu contoh beberapa orang-orang saleh yang berhasil tercerahkan, dan selanjutnya menjadi tokoh pemberi pencerahan pada masyarakat pada zamannya. Hidup suci dalam Islam bisa diraih oleh siapa saja. Kesucian hidup, bukanlah hak istimewa seseorang. Jalan tersebut terbuka bagi siapa saja, tidak hanya milik para ulama. Bahkan orang jahat sekalipun, ia bisa menapak cara hidup suci, asal dia bersedia untuk bertaubat dan bersungguh-sungguh. Bagi Allah, kesalehan bukan karena sama sekali tidak berbuat dosa, akan tetapi orang yang saleh adalah orang yang setiap kali berbuat dosa dia menyesali dan selanjutnya tak mengulangi perbuatan tadi. Pepatah Arab menegaskan : "Manusia adalah tempat salah dan lupa". Pepatah di atas bukan berarti manusia dibiarkan untuk selalu berbuat salah dan dosa, akan tetapi kesalahan pada diri manusia harus ditebus dengan tobat, penyesalan dan penghentian. Rasulullah bersabda : “Setiap anak Adam adalah sering berbuat salah. Dan, sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang-orang yang bertaubat.� (H.R. Tirmidzi) Taubat yang sungguh-sungguh di mata Allah adalah pembersihan diri yang sangat dicintai. Dalam Islam, pertaubatan bukan melalui orang lain, sebut saja orang saleh, tetapi dari diri sendiri secara langsung kepada Allah. Apalagi, Islam tidak mengenal penebusan dosa dengan sejumlah uang. Islam sungguh sangat berbeda dengan cara-cara pertaubatan dibanding agama-agama lain. Islam memandang, pertaubatan adalah persoalan yang sangat personal antara seorang hamba dengan Tuhannya. Dan, Tuhan dalam Islam adalah Tuhan yang bisa didekati sedekat mungkin, bukan tuhan yang berada di atas langit, tak terjangkau. Sabda Rasulullah (saw) : "Sesungguhnya Allah lebih suka menerima tobat hamba-Nya melebihi dari kesenangan seseorang yang menemukan kembali ontanya yang hilang di tengah hutan." (H.R. Bukhori dan Muslim) Islam tidak menganggap taubat sebagai langkah terlambat kapanpun kesadaran itu muncul. Hisab (perhitungan) akan amal-amal jelek kita di mata Allah akan terhapus dengan taubat kita. Lembaran baru hidup terbuka lebar. Langkah anyar terbentang. Sabda Nabi (saw) : “Siapa yang bertobat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima taubat dan mema’afkannya.� (H.R. Muslim) Bertaubat, demikian halnya, dijadikan amalan dzikir oleh Rasulullah (saw) setiap hari. Beliau beristighfar kendati sedikitpun beliau tidak melakukan dosa. Karena lewat istighfar, Nabi memohon ampun dan mengungkapkan kerendahan hati yang sangat dalam di hadapan yang Maha Agung. Sabda Nabi (saw) : “Hai sekalian manusia, bertaubatlah kamu kepada Allah dan mintalah ampun kepada-Nya, maka sesungguhnya saya bertaubat dan beristighfar tiap hari 100 kali.� (H.R. Muslim) Firman Allah : “Katakanlah ! Hai hamba-hamba-Ku yang berdosa terhadap jiwanya sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni segala dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.� (Q.S. al-Zumar : 53) “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan seikhlas-ikhlas taubat, semoga Tuhan mu akan menghapuskan dari kamu akibat kejahatan perbuatan-perbuatanmu, dan akan memasukkan kamu ke dalam surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai.� (Q.S. al Thalaq : 8) Dalam memperbaiki kesalahan dan membersihkan diri dari dosa, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu hak Allah dan hak bani Adam. Apabila kesalahan atau dosa berhubungan dengan hak Allah, maka ada tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu : 1.Harus menghentikan tindakan maksiat. 2.Harus dengan sungguh-sungguh menyesali perilaku dosa yang telah dikerjakan. 3.Berniat dengan tulus untuk tidak mengulangi kembali perbuatan tersebut. Dan, apabila kesalahan itu berhubungan dengan bani Adam, maka syarat bertambah satu, yaitu harus menyelesaikan urusannya dengan orang yang berhak dengan meminta ma’af atau halalnya, atau mengembalikan apa yang harus dikembalikan. Sabda Nabi (saw) : “Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak berdosa. Dan orang yang minta ampunan dari dosanya, sedangkan dirinya tetap mengerjakan dosa, seperti orang yang mempermainkan Tuhannya.� (H.R. Baihaqi) Tidak sedikit orang-orang saleh awalnya adalah orang-orang yang sangat jahat saat mudanya. Setelah bertaubat, ia beristiqomah dalam berbuat baik dan pengabdian kepada Allah. Beberapa di antara mereka, pada akhirnya, menjadi tokoh panutan karena kesucian dan perilaku-perilaku yang membebaskan. Konon, Sunan Kalijaga adalah salah satu contoh beberapa orang-orang saleh yang berhasil tercerahkan, dan selanjutnya menjadi tokoh pemberi pencerahan pada masyarakat pada zamannya. Wallahu a’lam Rizqon Khamami.

Sikap Anak terhadap Orang Tua Bermasalah

Sikap Anak terhadap Orang Tua Bermasalah Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz
Selama ini yang sering kita dengar dalam setiap pengajian/ceramah yang berisi mengenai sikap anak terhadap orangtua selalu sama, yaitu menjadikan anak sebagai subyek dengan kata lain anak yang harus menjaga sikapnya. Anak harus hormat, mematuhi dan bersikap yang baik-baik (lisan/perbuatan) kepada orangtua. Padahal dalam kenyataan yang sering terjadi dalam kehidupan nyata ini banyak sekali seorang anak kebingungan atau sulit bersikap terhadap orangtuanya, terutama bagi mereka yang yang orangtuanya bermasalah. Tanya Jawab (432) :Sikap Anak terhadap Orang Tua Bermasalah Assalaamu'alaikum Wr. Wb. Selama ini yang sering kita dengar dalam setiap pengajian/ceramah yang berisi mengenai sikap anak terhadap orangtua selalu sama, yaitu menjadikan anak sebagai subyek dengan kata lain anak yang harus menjaga sikapnya. Anak harus hormat, mematuhi dan bersikap yang baik-baik (lisan/perbuatan) kepada orangtua. Padahal dalam kenyataan yang sering terjadi dalam kehidupan nyata ini banyak sekali seorang anak kebingungan atau sulit bersikap terhadap orangtuanya, terutama bagi mereka yang yang orangtuanya bermasalah. Bagaimana sikap anak terhadap ayah yang memukuli ibunya? sementara ayah sudah tidak dapat dikendalikan/dinasehati !!! Apakah sang anak harus diam melihat hal tersebut karena jika melawan akan dikatakan durhaka sementara ibu tersiksa lahir dan batinnya. Hal tersebut diatas sering kita lihat dan dengar disekililing kita, bahkan ada seorang anak kelepasan tangan memukul ayahnya untuk membela ibunya yang dianiaya ayahnya.Jika kita lihat hadist Rasul bahwa ibu 3x lebih harus kita hormati dari ayah apakah dibenarkan anak melawan ayahnya untuk membela ibunya yang teraniaya ? Demikian, terimakasih atas perhatian dan jawabannya. Jazakumullohu Khoiron. Wassalaamu'alaikum wr. wb. Uhktikum Fillah --------- Jawab --------- Saya sepakat dengan Anda, kebanyakan orang tua (ortu) ternyata otoriter. Menurutnya, segala perkataannya harus diikuti anaknya. Padahal ortu yang baik itu di samping sbg pelindung dan pembimbing, mestinya juga harus menjadi teman yang baik (yang bisa diajak diskusi dlm membicarakan cita-cita, misal) bagi anaknya. Juga perlu dibedakan antara nasehat dan saran/usulan. Nasehat itu meliputi nilai-nilai yang prinsipil (sesuai logika), dan moralitas atau norma-norma agama, seperti kedisiplinan, kejujuran, tanggung-jawab, keseriusan, harga-menghargai, hormat-menghormati, dll. Dan saran/usulan berkaitan dengan cita-cita, bidang studi yang hendak di tekuni, dll. Jadi, seorang anak dikatakan membantah nasehat ortu jika ia tidak menaati nilai-nilai moralitas yang disampaikan ortunya. Adapun soal pilihan cita-cita, pilihan jodoh, dll yang berkaitan dengan masa depan si anak ortu tidak boleh memaksakan kehendaknya. Bila si anak sudah mantap pada suatu pilihan (yang tidak ada jeleknya sedikitpun menurut norma apapun), dan konsekuen atas pilihan tersebut (berani bertanggungjawab), ortu tinggal memberikan usulan-usulan dan bimbingan yang mendukung pilihan si anak. Dalam hal ini ortu juga tidak bisa memaksakan usulan-usulannya. Bila si anak mempunyai pendapat yang lebih mantap dan yakin bisa mempertanggungjawabkannya, ortu tidak boleh mengendorkannya. Diskusi soal pilihan ini tergantung pada kekuatan argumen-argumen yang rasional, dan yang jelas tidak boleh menyalahi norma-norma agama. Demikian soal pendidikan anak. Format interaksi ortu-anak seperti di atas bila keduanya tetap pada rel-rel agama dan logika. Jika salah satunya menyalahi agama, maka pertanda olengnya bahtera rumah tangga. Terlebih jika yang melakukan kesalahan adalah ortu, seperti kisah Anda tersebut. Pertanyaan berikutnya, seperti yang Anda tanyakan, bagaimana sikap si anak? Dilihat-lihat, bila si anak sudah menjadi dewasa dan merasa mampu --secara fisik dan mental-- mengatasi ortu-nya sendirian tanpa melibatkan orang luar, maka lebih baik diatasi sendiri. Tapi jika tidak mampu, segeralah minta tolong orang lain. Bahkan kalau urusannya sudah gawat sekali, sudah masuk kategori pidana misal, lebih baik lapor ke pihak yang berwajib (polisi). Yang jelas, harus segera diupayakan agar jangan terjadi korban. Pada kasus yang Anda ceritakan, tentu si anak sebisanya menyelamatkan ibunya, namaun jangan ikut-ikutan kehilangan kesabaran dengan membalas dendam, apalagi sampai membunuh bapaknya. Demikian, semoga bermanfaat Arif Hidayat

Tentang Puasa Rajab

Tentang Puasa Rajab Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz
Bapak Ustad, saya mendapatkan informasi kalau puasa Rajab tanggal 1 akan menghapus dosa selama 3 tahun, tanggal 2 akan menghapus dosa 2 tahun, tanggal 3 akan menghapus dosa 1 tahun, tanggal 4 akan menghapus dosa selama 1 bulan, dan amal di bulan rajab akan diberi pahala 70 kali lipat. Tanya:

Bapak Ustad, saya mendapatkan informasi kalau puasa Rajab tanggal 1 akan menghapus dosa selama 3 tahun, tanggal 2 akan menghapus dosa 2 tahun, tanggal 3 akan menghapus dosa 1 tahun, tanggal 4 akan menghapus dosa selama 1 bulan, dan amal di bulan rajab akan diberi pahala 70 kali lipat.

Saya tidak tahu dasar hukumnya puasa Rajab dan kebenaran informasi tsb. Saya sudah mencoba mencari di buku Fiqh Islam karangan H. Sulaiman Rasjid dan buku Riadhus Shalihin karangan Ust. Al Hafidh. Mungkin karena keterbatasan pengetahuan saya sehingga tidak mengetahuinya.

Atas bantuannya saya ucapkan banyak terimakasih.


Budi Fachrudin - Depok

Jawab:

Bulan Rajab merupakan salah satu bulan Muharram yang artinya dimulyakan (Ada 4 bulan: Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab). Puasa dalam bulan Rajab, sebagaimana dalam bulan-bulan mulya lainnya, hukumnya sunnah. Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah bersabda "Puasalah pada bulan-bulan haram(mulya)." (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Hadis lainnya adalah Riwayatnya al-Nasa'i dan Abu Dawud (dan disahihkan oleh Ibnu Huzaimah): "Usamah berkata pada Nabi saw, 'Wahai Rasulullah, saya tak melihat Rasul melakukan puasa (sunat) sebanyak yang Rasul lakukan dalam bulan Sya'ban.' Rasul menjawab: 'Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan orang.'"

Menurut al-Syaukani (Naylul Authar, dalam bahasan puasa sunat) ungkapan Nabi "Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan kebanyakan orang" itu secara implisit menunjukkan bahwa bulan Rajab juga disunnahkan melakukan puasa di dalamnya.

Adapun hadis yang Anda sebut itu, kami juga tak menemukannya. Ada beberapa hadis lain yang menerangkan keutamaan bulan Rajab. Seperti berikut ini:
  • "Barang siapa berpuasa pada bulan Rajab sehari maka laksana ia puasa selama sebulan, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya 7 pintu neraka Jahim, bila puasa 8 hari maka dibukakan untuknya 8 pintu sorga, dan bila puasa 10 hari maka digantilah dosa-dosanya dengan kebaikan."
  • Riwayat al-Thabrani dari Sa'id bin Rasyid: Barangsiapa puasa sehari di bulan Rajab maka laksana ia puasa setahun, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya pintu-pintu neraka Jahanam, bila puasa 8 hari dibukakan untuknya 8 pintu sorga, bila puasa 10 hari Allah akan mengabulkan semua permintaannya....."
  • "Sesugguhnya di sorga terdapat sungai yang dinamakan Rajab, airnya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis dari madu. Barangsiapa puasa sehari pada bulan Rajab, maka ia akan dikaruniai minum dari sungai tersebut".
  • Riwayat (secara mursal) Abul Fath dari al-Hasan, Nabi saw berkata: "Rajab itu bulannya Allah, Sya'ban bulanku, dan Ramadan bulannya umatku."
Hadis-hadis tersebut dha'if (kurang kuat) sebagaimana ditegaskan oleh Imam Suyuthi dalam kitab al-Haawi lil Fataawi.

Ibnu Hajar, dalam kitabnya "Tabyinun Ujb", menegaskan bahwa tidak ada hadis (baik sahih, hasan, maupun dha'if) yang menerangkan keutamaan puasa di bulan Rajab. Bahkan beliau meriwayatkan tindakan Sahabat Umar yang melarang menghususkan bulan Rajab dengan puasa.

Ditulis oleh al-Syaukani, dlm Nailul Authar, bahwa Ibnu Subki meriwayatkan dari Muhamad bin Manshur al-Sam'ani yang mengatakan bahwa tak ada hadis yang kuat yang menunjukkan kesunahan puasa Rajab secara khusus. Disebutkan juga bahwa Ibnu Umar memakruhkan puasa Rajab, sebagaimana Abu Bakar al-Tarthusi yang mengatakan bahwa puasa Rajab adalah makruh, karena tidak ada dalil yang kuat.

Namun demikian, sesuai pendapat al-Syaukani, bila semua hadis yang secara khusus menunjukkan keutamaan bulan Rajab dan disunahkan puasa di dalamnya kurang kuat dijadikan landasan, maka hadis-hadis yang umum (spt yang disebut pertamakali di atas) itu cukup menjadi hujah atau landasan. Di samping itu, karena juga tak ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa di bulan Rajab.

Cara Ber-Istiqomah di Zaman Modern

Cara Ber-Istiqomah di Zaman Modern Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz
Bagaimana agar kita tetap istiqomah dalam bertaqwa pada jaman sekarang ini karena sekarang banyak sekali godaannya, terutama dengan semakin majunya peradaban jaman..? Assalamu'alaikum, Aaya ingin bertanya dalam rubrik ini. 1. Bagaimana untuk meyakinkan bahwa semua kebaikan dan kejahatan itu adalah atas kehendak Allah swt..? 2. Bagaimana agar kita tetap istiqomah dalam bertaqwa pada jaman sekarang ini karena sekarang banyak sekali godaannya, terutama dengan semakin majunya peradaban jaman..? Wassalam M. Tohir – Tangerang --------- Jawab --------- 1. Pernyataan Anda perlu saya luruskan dengan keterangan sbb: Pertama, Allah menurunkan ajaran yang fithri/alami/natural (karenanya tidak bisa disebut sebagai beban) demi kebaikan/kebahagiaan manusia; Kedua, Allah menghendaki agar ajaran itu dilaksanakan sebaik-baiknya; Ketiga, namun begitu Allah menyerahkan pada manusia mau menerima perintah itu atau tidak, manusia harus berusaha sendiri untuk melaksanakan ajaran tsb. Jadi tidak bisa dikatakan bahwa kejahatan (dengan arti kemaksiatan) itu kehendak Allah swt. Coba Anda renungi ayat berikut: "Dan katakanlah: 'Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir'. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (QS. Al-Kahfi/18:29) Perlu ditegaskan di sini adanya perbedaan antara kejahatan dengan arti madharat/balaa', dan kejahatan dengan arti kemaksiatan. Pada hakekatnya memang satu, tapi dua. Jelasnya demikian, pencurian adalah tindakan kejahatan, baik dari sisi pencuri atau orang yang tercuri. Tapi bila kita kaitkan dengan istilah madharat/balaa' dan maksiat, maka akan jelas perbedaannya: si pencuri melakukan kemaksiatan (pencurian), dan si tercuri terkena madharat (pencurian). Dan tindakan mencuri (kemaksiatan) sama sekali bukan kehendak Allah. Nah, orang yang tertimpa madharrat atau balaa' tidak berarti tertimpa kejelekan. Renungkan hadis Nabi berikut: Seseorang mengeluh ke Rasulullah: "Wahai Rasul, harta saya hilang dan badan saya sakit." Jawab beliau: "Kebaikan (keberuntungan) itu tidak terdapat pada orang yang hartanya tidak hilang dan badannya tidak sakit. Karena sesungguhnya, jika Allah memang mencintai seorang hamba Allah menurunkan cobaan padanya lantas membekalinya kesabaran." Hadis ini menyiratkan bahwa kejelekan/keburukan itu bukanlah identik dengan kenikmatan duniawi. Tapi kebaikan adalah kesabaran itu sendiri. 2. Sebelum membahas bagaimana tetap Istiqamah dalam bertakwa, perlu Anda ketahui mengenai apa sebenarnya taqwa itu (mena'ati perintah dan menjauhi larangan Allah Swt). Saya hanya ingin menegaskan bahwa taqwa itu tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat ibadah murni, seperti shalat, puasa, zakat, dll. Tapi taqwa juga meliputi hal-hal yang sifatnya duniawi, asal itu baik dan bermanfaat. Kita menekuni apa yang menjadi hobi dan keahlian kita kendati itu hanya semata bersifat duniawi namun bermanfaat bagi semua makhluk di bumi ini juga taqwa. Sebab Allah melarang tindakan-tindakan yang berakibat pada rusaknya lingkungan, dan Allah juga menegaskan agar kita jangan sampai melupakan persoalan-persoalan duniawi yang menopang kemaslahatan hidup kita di dunia. Singkatnya, orang Islam itu harus jaya di dunia dan jangan sampai melupakan akheratnya. Oleh karena demikian luasnya wilayah taqwa, maka dengan sendirinya problem istiqamah juga tidak sama. Jika problem istiqamah Anda menyangkut hal 'ibadah, misal Anda sesekali berani melanggar perintah agama, seperti shalat, puasa, dll), Anda perlu meningkatkan wawasan keakhiratan. Sebab kebanyakan faktor yang memnyebabkan terputusnya kontinyuitas/istiqamahnya suatu kegiatan (baik kegiatan duniawi atau ukhrawi) tiada lain adalah minimnya wawasan. Setidaknya yang bisa Anda lakukan sendiri adalah menghidupkan kesadaran akan adanya kehidupan sesudah mati atau kehidupan akherat. Saya kira semua orang Islam meyakini adanya kehidupan akherat, hanya saja kenyataannya tidak sedikit orang-orang yang lupa akan hal itu. Mereka terlelap dalam kenikmatan duniawi. Maka orang seperti ini perlu disadarkan mengenai kehidupan akherat, di mana orang yang sebagian besar hidupnya penuh ketaatan akan masuk surga dan bila didominasi kemaksiatan akan masuk neraka. Bertanya-tanyalah dalam hati Anda: apa sebenarnya tujuan hidup Anda? Apa hanya ingin cukup dengan kenikmatan duniawi? dengan semata melimpahnya harta-dunia apakah ketenangan batin bisa didapat? tidakkah batin akan tenang dengan menaati perintah-perintah agama, berdzikir/mengingat Allah? Kalau pertanyaan-pertanyaan (muhaasabah) seperti ini belum mempan juga, sering-seringlah memikirkan "seandainya besok aku mati". Dan jika hati Anda sudah tergerak untuk rajin melakukan ibadah, hanya saja Anda menghadapi problem lain, misal kurang mengetahui cara-cara ibadah denganbenar, Anda harus bertanya ke ahlinya. Dan jika problem istiqamah itu menyangkut soal keduniaan, maka kita perlu meningkatkan wawasan/ilmu pengetahuan tentang keduniaan. Yang bisa Anda lakukan mula-mula adalah menetapkan program, rencana-rencana, dan target. Anda juga harus meningkatkan kedisiplinan, kesungguhan, dan ketulusan. Bangunlah kesadaran bahwa diri kita juga harus memberi manfaat pada orang lain. Sebab sebaik-baiknya manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi lingkungannya. Untuk melengkapi tema istiqamah, berikut ini saya ambilkan tulisan Dr. Nurcholish Madjid yang berjudul "Istiqamah Di Zaman Modern" dalam bukunya Pintu-Pintu Menuju Tuhan. *** ISTIQAMAH DI ZAMAN MODERN Istiqamah artinya teguh hati, taat asas, atau konsisten. Meskipun tidak semua orang bisa bersikap istiqamah, namun memeluk agama, untuk memperoleh hikmahnya secara optimal, sangat memerlukan sikap itu. Allah menjanjikan demikian: "Dan seandainya mereka itu bersikap istiqamah di atas jalan kebenaran, maka pastilah Kami siramkan kepada mereka air yang melimpah." (QS. Al-Jinn/72:16). Air adalah lambang kehidupan dan lambang kemakmuran. Maka Allah menjanjikan mereka yang konsisten mengikuti jalan yang benar akan mendapatkan hidup yang bahagia. Tentu saja keperluan kepada sikap istiqamah itu ada pada setiap masa, dan mungkin lebih-lebih lagi diperlukan di zaman modern ini. Karena kemodernan (modernitas, modernity) bercirikan perubahan. Bahkan para ahli menyebutkan bahwa kemodernan ditandai oleh "perubahan yang terlembagakan" (institutionalized change). Artinya, jika pada zaman-zaman sebelumnya perubahan adalah sesuatu yang "luar biasa" dan hanya terjadi di dalam kurun waktu yang amat panjang, di zaman modern perubahan itu merupakan gejala harian, dan sudah menjadi keharusan. Lihat saja, misalnya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi microchip (harfiah: kerupuk kecil) dalam teknologi elektronika. Siapa saja yang mencoba bertahan pada suatu bentuk produk, baik dia itu produsen atau konsumen, pasti akan tergilas dan merugi sendiri. Karena itulah maka "Lembah Silikon" atau Silicon Valley di California selalu diliputi oleh ketegangan akibat kompetisi yang amat keras. Adanya kesan bahwa "perubahan yang terlembagakan" itu tidak memberi tempat istiqamah adalah salah. Kesalahan itu timbul antara lain akibat persepsi bahwa istiqamah mengandung makna yang statis. Memang istiqamah mengandung arti kemantapan, tetapi tidak berarti kemandekan. Melainkan lebih dekat kepada arti stabilitas yang dinamis. Dapat dikiaskan dengan kendaraan bermotor: semakin tinggi teknologi suatu mobil, semakin mampu dia melaju dengan cepat tanpa guncangan. Maka disebut mobil itu memiliki stabilitas atau istiqamah. Dan mobil disebut dengan stabil bukanlah pada waktu ia berhenti, tapi justru ketika dia melaju dengan cepat. Maka begitu pula dengan hidup di zaman modern ini. Kita harus bergerak, melaju, namun tetap stabil, tanpa goyah. Ini bisa saja terwujud kalau kita menyadari dan meyakini apa tujuan hidup kita, dan kita dengan setia mengarahkan diri kepadanya, sama dengan mobil yang stabil terus melaju ke depan, tanpa terseot ke kanan-kiri. Lebih-lebih lagi, yang sebenarnya mengalami "perubahan yang terlembagakan" dalam zaman modern ini hanyalah bidang-bidang yang bersangkutan dengan "cara" hidup saja, bukan esensi hidup itu sendiri dan tujuannya. Ibarat perjalanan Jakarta-Surabaya, yang mengalami perubahan hanyalah alat transportasinya, mulai dari jalan kaki, sampai naik pesawat terbang. Tujuannya sendiri tidak terpengaruh oleh "cara" menempuh perjalanan itu sendiri. Maka ibarat mobil yang stabil yang mampu melaju dengan cepat, begitu pula orang yang mencapai istiqamah tidak akan goyah, apalagi takut, oleh lajunya perubahan. Dia hidup dinamis, berjalan di atas kebenaran demi kebenaran, untuk sampai akhirnya kembali kepada Tuhan, sang Kebenaran Mutlak dan Abadi. Dan kesadaran akan hidup menuju Tuhan itulah yang akan memberi kebahagiaan sejati sesuai janji Tuhan di atas. *** Semoga bermanfaat. Wassalam Arif Hidayat

Mencintai Rasulullah s.a.w.

Mencintai Rasulullah s.a.w. Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz
Mencintai Rasulullah, bagaimana bentuknya? Sekedar memujinya dalam berabagai kesempatan, seperti setiap hari kelahirannya? Sekedar membacakan salawat kepadanya? Cinta yang jujur akan menggerakkan seluruh dimensi kemanusiaan untuk berbuat sesuatu sebagai cerminannya. Cinta Rasulullah, adalah banyak menyebutnya, mengikuti sunnahnya, menegakkan risalahnya di dalam dirinya dan di atas bumi yang Allah ciptakan ini. Rasulullah SAW, pembawa cahaya yang menerangkan jalan hidup bagi manusia. Cahaya ini berupa Al Qur'an dan sunnahnya, pedoman dalam segala aktivitas, dengannya kebahagiaan dunia-akhirat bisa tercapai. Setiap insan tentu merindukan kebahagaiaan. Segala usaha yang diperjuangkan, dalam segala levelnya – diakui atau tidak – adalah upaya untuk mencapai kebahagiaan yang dirindukan. Tanpa kebahagiaan manusia akan tetap sengsara, tertatih-tatih dalam kegelapan. Rasulullah datang membawa kunci kebahagiaan yang dirindukan itu. Maka tentu sangat wajar jika setiap muslim wajib mencintainya. Perintah mentaati Allah dalam Al-Qur'an, selalu digandeng dengan perintah mentaati Rasulullah ( perhatikan QS:64:12 misalnya ). Ini menunjukkan bahwa mentaati Rasulullah SAW adalah berarti mentaati Allah SWT. Dan mengingkarinya berarti juga mengingkari Allah SAW. Demikian juga persaksian dua kalimat syahadat menegaskan bahwa seseorang tidak bisa masuk Islam jika hanya mengaku beriman kepada Allah tanpa mengakui kerasulan Muhammad SAW. Dari sini bisa dilihat bahwa mencintai Rasulullah adalah juga mencintai Allah. Artinya bila seorang harus mencintai Allah di atas segala-galanya termasuk dirinya, maka dalam mencitai Rasulullah juga harus demikian. Abdullah bin Hisyam ra, – dalam riwayat Imam Bukhari – bercerita : " Kami suatu hari bersama Nabi SAW , beliau menggandeng tangan Umar bin Khattab ra. Umar lalu berkata : Wahai Rasulullah, engkau saya cintai diatas segalanya selain diri saya sendiri. Rasulullah menjawab : tidak, wahai Umar, demi yang jiwa saya berada dalam genggamanNya, - ( imanmu tidak sempurna ) sampai kau mencintai saya lebih dari cintamu terhadap dirimu ". Tapi bagaimana cinta terhadap orang yang paling dekat, seperti anak, dan yang paling dimulyakan seperti orang tua. Dalam berbagai kejadian kita sering menemukan orang berani mengorbankan dirinya demi kehidupan seorang anak. Orang sering berani menempuh kesulitan apa saja, sampai yang paling membahayakan terhadap dirinya, demi pengabdian kepada orang tuanya. Akankah cinta kepada Rasulullah juga harus di atas ini? Abu Hurairah, ra, menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : " Demi yang jiwa saya dalam genggamanNya, tidak beriman seseorang di antara kalian sampai ia mencintai saya lebih dari cintanya terhadap orang tuanya dan anaknya ". ( HR. Bukhari ). Tidak hanya itu, cinta kepada Rasulullah SAW harus juga di atas cinta terhadap semua kerabat, harta kekayaan, dan semua manusia. Imam Muslim pernah meriwayatkan sebuah hadits dari Anas ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda : " Tidak beriman seorang hamba sampai ia mencintai saya lebih dari cintanya terhadap kerabatnya, hartanya dan semua manusia ". Mencintai Rasulullah, bagaimana bentuknya? Sekedar memujinya dalam berabagai kesempatan, seperti setiap hari kelahirannya? Sekedar membacakan salawat kepadanya? Cinta yang jujur akan menggerakkan seluruh dimensi kemanusiaan untuk berbuat sesuatu sebagai cerminannya. Cinta Rasulullah, adalah banyak menyebutnya, mengikuti sunnahnya, menegakkan risalahnya di dalam dirinya dan di atas bumi yang Allah ciptakan ini. Dr. Amir Faishol Fath.

Amalan-amalan Praktis Orang Bertaqwa

Amalan-amalan Praktis Orang Bertaqwa Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz
Taqwa itu artinya menjauhi segala larangan dan melakukan/mena'ati perintah Allah Swt. "Menjauhi larangan dan mena'ati perintah" lingkupnya yang luas sekali. Sebab itu, amalan-amalan praktis –yang karenanya kita disebut bertaqwa-- tidak terbatas jumlahnya, meliputi bidang ibadah atau keakhiratan (shalat, puasa, haji, zakat, dll) dan bidang mu'amalah atau pergaulan duniawi (sosial kemasyarakatan, ekonomi, politik, pendidikan, dll). Tanya Jawab (428) Amalan-amalan Praktis Orang Bertaqwa Assalamu'alaikum wr. wb. Saya ingat dulu waktu saya masih kelas 1 SMP, saya pernah mendengarkan kaset ceramah Pak Miftah Faridl tentang amalan-amalan praktis yang dilakukan untuk menjadi orang bertaqwa, misalnya sholat tahajud, dsb. Dari ceramah itulah, saya mulai mengerjakan sholat tahajud sejak SMP. Namun sepertinya saya tidak bisa beristiqomah untuk selalu berusaha menjadi orang bertaqwa, dan sekarang saya diingatkan oleh Allah untuk kembali lagi. Pertanyaan: 1. Amalan-amalan praktis apa saja yang bisa dilakukan untuk menjadi orang bertaqwa? 2. Apa kebaikan-kebaikan yang dijanjikan oleh Allah jika kita menjadi orang bertaqwa? Wassalam, Rudi Nugroho Y. --------- Jawab --------- Assalamu'alaikum wr. wb. Saudara Rudi, Taqwa itu artinya menjauhi segala larangan dan melakukan/mena'ati perintah Allah Swt. "Menjauhi larangan dan mena'ati perintah" lingkupnya yang luas sekali. Sebab itu, amalan-amalan praktis –yang karenanya kita disebut bertaqwa-- tidak terbatas jumlahnya, meliputi bidang ibadah atau keakhiratan (shalat, puasa, haji, zakat, dll) dan bidang mu'amalah atau pergaulan duniawi (sosial kemasyarakatan, ekonomi, politik, pendidikan, dll). Dengan ungkapan lain, orang bertaqwa adalah orang yang bisa membina hubungan baik dengan Allah (hablun minallaah) dan baik dengan sesama manusia (hablun minannaas). Baik dalam urusan agama dan baik dalam urusan dunia. Kedua urusan itu dilakukan sesuai norma agama dan logika/pengetahuan secara serius/sungguh-sungguh, pantang menyerah, disiplin, dan tulus. Kalau kita rajin dalam bidang ibadah saja sementara kegiatan duniawi kita berantakan, maka kualitas ketaqwaan kita hanya setengah. Demikian juga bila kita hanya baik duniawi saja atau setengah-setengah dalam hal ibadah dan setengah-setengah dalam hal duniawi. Padahal kata Allah: "Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS. Al-Qashash/28:77) Tuntutan taqwa di kedua bidang ini tidak berarti tuntutan untuk mencapai kesempurnaan (dengan arti punya kemampuan, kemauan, dan tindakan di segala bidang ibadah dan kegiatan duniawi). Namun nilai taqwa itu sudah cukup memihak pada orang yang mempunyai kemauan dan tindakan pada bidang sesuai kemampuannya. Dalam hal ibadah sesuai kemampuan, duniawi sesuai kemampuan. Kalau jadi polisi, jadilah polisi yang baik dan ibadahnya jangan lupa. Jadi pedagang, pedagang yang baik dan ibadahnya jangan kacau. Guru yang baik dan rajin beribadah. Demikian seterusnya. "Jangan lupa ibadah" artinya lakukanlah ibadah sesuai kemampuan. Semuanya (kebaikan) diukur dengan kemampuan. Ini kaitannya dengan prinsip: apa saja kejelekan (kemungkaran) harus kita tinggalkan, apa saja kebaikan harus kita lakukan sesuai kemampuan. Perlu ditegaskan di sini, kita juga berkewajiban meningkatkan kualitas ketaqwaan kita. Bagaimana caranya? Tiada lain dengan meningkatkan kemampuan. Dan kemampuan akan meningkat seiring dengan tambahnya pengetahuan. Dengan kata lain kita harus mencari ilmu untuk menambah pengetahuan. Tak boleh berhenti pada apa yang sudah kita mampui. Kata Allah: "Katakan (hai Muhammad), Aku hanyalah menasehatkan satu perkara saja kepada kamu semua, yaitu hendaknya kamu berdiri menghadap Allah, berdua-dua (bersama orang lain) atau pun sendirian, kemudian kamu berpikir." (QS. Saba'/34:46) Dalam ayat ini Nabi Muhammad diperintahkan menyampaikan pesan yang terdiri dari dua hal tapi hakikatnya satu, yaitu beribadah dan berpikir. Dengan kata lain, beribadah dan berpikir adalah dua kegiatan yang tak boleh dipisahkan. Berpikir di sini mempunyai arti belajar, mencari ilmu, dan meningkatkan pengetahuan. Itulah makanya keunggulah itu diberikan pada orang yang beriman dan berilmu. "...Allah mengangkat mereka yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan ke berbagai derajat." (QS. Al-Mujadalah/58:11) Bagi Anda sendiri, sekarang tinggal mengukur kemampuan. Dalam hal ibadah, lakukan semua kewajiban lebih dulu, baru yang sunat menyusul (di antara tahajud atau shalat malam). Dan dalam urusan dunia, lakukan apa yang menjadi keahlian Anda. Kerjakan sesuai urutan prioritas untuk menuju keseimbangan hidup. Atau bisa diformulasikan: keluarga damai, bisnis lancar, dan sosial tak terabaikan. Atau: sebaik-baiknya manusia adalah orang yang paling bermanfaat (bagi keluarga dan lingkungan). *** Saya kira, dari uraian di atas Anda sudah tahu dengan jelas apa dan bagaimana taqwa itu. Otomatis tahu apa kira-kira akibat atau dampak yang akan terjadi pada orang yang bertaqwa. Balasan orang yang bertaqwa tiada lain adalah kebaikan di dunia dan akherat. Kedamaian di dunia dan di akhirat (dalam surga). "Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). (QS. An-Nazi'at/79:40-41) "Untuk orang-orang yang bertaqwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah: Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.(QS. Ali 'Imran/3:15) Semoga membantu. Wassalam Arif Hidayat

"Halawatul Iman"

"Halawatul Iman" Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz
Dzikir dan Iman adalah satu rangkaian yang memungkinkan setiap Muslim menerima siraman kebahagian. Dengan Iman, seorang Muslim bisa tegar, sabar dan kuat dalam mengarungi kehidupan. Ia bahagia dalam cobaan hidup yang penuh penderitaan, kesengsaraan dan kesakitan. Dengan iman di hati, ia bersikap tawakal. Allah berfirman : "Sesungguhnya orang-orang beriman itu ialah orang-orang yang apabila disebut (nama) Allah, gemetar hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambah iman mereka karenanya. Dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal". (Q.S. Al Anfal : 2) Hari itu sangat panas. Matahari berada diatas kepala, menyengat. Bilal memejamkan mata, lirih berdzikir : "Ahad...Ahad...". Dengan kedua tangan terikat ketat, kaki telanjang menancap di tanah panas berpasir, Bilal disiksa. Cambukan bertubi-tubi Abu Sufyan, tuannya, tak sedikitpun mengendurkan hati Bilal. Sebagai budak, Bilal memperoleh tidak sedikit perlakuan kejam. Setiap kali dicambuk, bibir Bilal menyebut nama Tuhan yang Esa, Ahad. Ahad. Sebagai budak Abu Sufyan, orang terpandang dan kelompok elit Mekkah, Bilal tidak bisa leluasa meluapkan panggilan hati untuk bertauhid. Keimanan dan keteguhan jiwanya diuji. Semangat ketauhidan yang selama ini disimpan tak bisa lagi disembunyikan. Sang tuan mengetahui pemihakan sang budak terhadap agama baru yang sangat dibencinya karena mengajarkan kesetaraan manusia. Menurut agama baru ini, Islam, orang hitam dan putih dipandang sama. Mengajarkan untuk memperlakukan budak dengan tidak semena-mena. Semua manusia satu lini dalam pengabdian dan penyembahan kepada Tuhan yang Tunggal, sama dalam ketundukan dan kepasrahan dihadapan Tuhan yang Satu. Kebangkitan Islam, di mata Abu Sufyan, tidak saja meruntuhkan posisi kekuasaannya di lingkungan Arab jahiliyah, namun menggoncang tatanan kemapanan yang telah dinikmatinya selama ini berkat keturunan pada dirinya. Hal demikian menggerakkan Abu Sufyan untuk gencar menentang penyebaran Islam. Masuknya Bilal dalam pangkuan kelompok Rasullullah (saw), menjadikan Abu Sufyan seakan ditohok dari pusat jantung. Bilal, dengan kemantapan iman dan keyakinan kuat terhadap ketauhidan Allah, sama sekali tidak membuatnya bergeming untuk selalu memegangi erat Islam kendati siksaan dan perlakuan tidak manusiawi sang Tuan tidak berkurang. Ia menikmati iman dan kelezatannya dengan penuh kesadaran. Lezat iman menutupi siksa badani. Lapar dan haus, bagi Bilal, bukan bandingan untuk kelezatan dan ketenangan batin yang dipenuhi dengan aliran iman. Siksaan dan tetesan darah tidak mengalahkan kedamaian hati tempat besemayam Iman kepada Allah. Iman adalah segalanya, pemberi makna hidup, pengisi jiwa dan pendamai hati. Di beberapa daerah tropis kita dapati tidak sedikit kegemaran penduduk setempat dalam mengkonsumsi makanan serba pedas, cabai dan sambal. Mereka tidak memperdulikan waktu dan cuaca. Terkadang terik matahari tidak mengurangi kegemaran ini, bahkan makanan masih panas yang baru diangkat dari tungku sama sekali tidak menghalangi. Muka merah, mata berair, hidung beringus, peluh dan keringat menetes deras, dan tak henti-hentinya mulut menganga menahan rasa pedas, dilihat oleh orang lain sebagai sebuah penderitaan, kesakitan dan kesengsaraan. Namun bagi orang pertama, semua kesan tadi tidaklah begitu. Menurutnya adalah sebaliknya : bahagia, puas, tenang batin. Kecintaannya pada yang serba pedas menepis semua kesan-kesan kesakitan. Ia bahagia dalam penderitaan. Bagi Bilal, mengenggam iman adalah menggenggam kebahagian yang bisa menepis semua kesan penderitaan dan kesengsaraan. Bahagia batin terasa lebih nikmat daripada tubuh. Siksaan Abu Sufyan bukanlah penghalang untuk tumbuhnya iman dan pengakuan kebenaran ajaran universal Islam. Bilal bahagia dalam penderitaan. *** Namun, mengenggam iman tidak menjamin secara otomatis datangnya ketentraman optimal dan kebahagian utuh tanpa dengan disertai syarat : selalu mengingat Allah swt. Nama Allah yang Maha Suci akan mendatangkan ketentraman dan ketenangan jiwa. Firmannya : "Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah (dzikrullah) hati menjadi tentram." (Q.S. Arra'd : 28). Dari riwayat Abu Musa r.a, Rasullullah bersabda : "Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Tuhannya dengan orang yang tidak berdzikir kepada Tuhannya, adalah seperti orang yang hidup dengan orang mati". "Maka ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu. Dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku". (Q.S. Al Baqarah : 152) Dzikir dan Iman adalah satu rangkaian yang memungkinkan setiap Muslim menerima siraman kebahagian. Dengan Iman, seorang Muslim bisa tegar, sabar dan kuat dalam mengarungi kehidupan. Ia bahagia dalam cobaan hidup yang penuh penderitaan, kesengsaraan dan kesakitan. Dengan iman di hati, ia bersikap tawakal. Allah berfirman : "Sesungguhnya orang-orang beriman itu ialah orang-orang yang apabila disebut (nama) Allah, gemetar hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambah iman mereka karenanya. Dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal". (Q.S. Al Anfal :2) Wallahu a'lam bisshowab. Rizqon Khamami

Sholat Sunnah Qabliyah dan Ba'diyah Jum'at

Sholat Sunnah Qabliyah dan Ba'diyah Jum'at Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz
Assalamu 'alaikum wr. wb Saya mohon penjelasan tentang shalat sunnah sebelum (Qobliyah) dan sesudah (Ba' diyah) Shalat jum'at, karena memang selama ini sering saya lakukan akan tetapi Saya belum tahu apa haditsnya (riwayatnya). Pertanyaan ini timbul setelah ada yang mengatakan kepada Saya bahwa Qobliyah / Ba'diyah jum' at itu tidak ada, sedangkan saya sering lakukan karena mengikuti para guru dan belum terpikirkan apa hadits dan riwayatnya, karena ibadah tanpa ilmu akan percuma.

Yth, Bpk. Kyai, Assalamu 'alaikum wr. wb Saya mohon penjelasan tentang shalat sunnah sebelum (Qobliyah) dan sesudah (Ba' diyah) Shalat jum'at, karena memang selama ini sering saya lakukan akan tetapi Saya belum tahu apa haditsnya (riwayatnya). Pertanyaan ini timbul setelah ada yang mengatakan kepada Saya bahwa Qobliyah / Ba'diyah jum' at itu tidak ada, sedangkan saya sering lakukan karena mengikuti para guru dan belum terpikirkan apa hadits dan riwayatnya, karena ibadah tanpa ilmu akan percuma. Demikian permohonan Saya, sambil menunggu kabar Saya Sampaikan terima kasih.

Wassalamu 'alaikum wr. wb

Trisno Hardiyanto

Yang terhormat saudara penanya:

Para ulama sepakat bahwa sholat sunnat yang di lakukan setelah sholat Jum'at adalah sunnah dan termasuk rawatib ba'diyah Jum'at. seperti yang di riwayatkan oleh Imam muslim dan Imam Bukhori. Sedangkan sholat sunnah sebelum sholat Jum'at terdapat dua kemungkinan:

1. Sholat sunnat mutlaq, hukumnya sunnat. Waktu pelaksanannya berakhir pada saat imam memulai khutbah.

2. Sholat sunnat Qobliyah Jum'at. Para ulama berbeda pendapat seputar masalah ini, yaitu sbb. :

a. Dianjurkan melaksanakannya. Pendapat ini di kemukakan oleh Imam abu Hanifah, pengikut Imam Syafi'i (menurut pendapat yang dalilnya lebih jelas) dan pendapat Pengikut Imam Ahmad bin Hanbal dalam riwayatnya yang tidak masyhur.

b. Tidak di anjurkan untuk melaksanakannya.yaitu pendapat imam Malik, pengikut Imam Ahmad bin Hanbal dalam riwayatnya yang masyhur. Dalil yang menyatakan dianjurkannya sholat sunnat qobliyah Jum'at:

1.Hadist Rosul yang artinya "Semua sholat fardlu itu pasti diikuti oleh sholat sunnat qobliyah dua rakaat". (HR.Ibnu Hibban yang telah dianggap shohih dari hadist Abdullah Bin Zubair). Hadist ini secara umum menerangkan adanya sholat sunnat qobliyah tanpa terkecuali sholat Jum'at.

2.Hadist Rosul yang artinya "Di antara dua adzan dan iqomat terdapat sholat sunnat,diantara dua adzan dan iqomat terdapat sholat sunnat, di antara dua adzan dan iqomat terdapat sholat sunnat bagi yang ingin melakukannya"(HR.Bukhori dan Muslim dari riwayat Abdullah Ibnu Mughoffal).

3.Perbuatan Nabi yang disaksikan oleh Ali Bin Abi Tholib yang berkata "Nabi telah melakukan sholat sunnah empat rakaat sebelum dan setelah sholat jumu'at dengan salam di akhir rakaat ke empat" (HR.Thabrani dalam kitab Al-Ausath dari riwayat Imam Ali Bin Abi Tholib).

Tetapi dalam dalam kitab yang sama lewat riwayat Abi Hurairoh berkata"nabi telah melakukan sholat sunnat dua rakaat qobliyah dan ba'diyah Jum'at" Dalil yang menerangkan tidak dianjurkannya sholat sunnat qobliyah Jum'at adalah sbb. : Hadist dari Saib Bin Yazid: "pada awalnya, adzan Jum'at dilakukan pada saat imam berada di atas mimbar yaitu pada masa Nabi, Abu bakar dan Umar, tetapi setelah zaman Ustman dan manusia semakin banyak maka Sahabat Ustman menambah adzan menjadi tiga kali (memasukkan iqomat), menurut riwayat Imam Bukhori menambah adzan menjadi dua kali (tanpa memasukkan iqomat). (H.R. riwayat Jama'ah kecuali Imam Muslim). Dengan hadist di atas Ibnu al-Qoyyim berpendapat "ketika Nabi keluar dari rumahnya langsung naik mimbar kemudian Bilal mengumandangkan adzan. Setelah adzan selesai Nabi langsung berkhotbah tanpa adanya pemisah antara adzan dan khotbah, lantas kapan mereka itu melaksanakan sholat sunnat qobliyah Jum'at?

Catatan : Permasalahan ini adalah khilafiyah furu'iyyah.(perbedaan dalam cabang hukum agama) maka tidak boleh fanatik di antara dua pendapat di atas. Dalam kaidah fiqh mengatakan la yunkaru al-mukhtalaf fih wa innama yunkaru al- mujma' alaih.(Seseorang boleh mengikuti salah satu pendapat yang diperselisihkan ulama dan kita tidak boleh mencegahnya untuk melakukan hal itu, kecuali permasalahan yang telah disepakati ulama.)

Sekian semoga membantu.

Machmudi
Dewan pengasuh Pesantren Virtual

Sombong

Sombong
Ditulis oleh Dewan Asatidz
Sifat sombong, takabur dan tinggi hati selalu beranjak dari assumsi bahwa dirinya memiliki kelebihan, keistimewaan, keunggulan dan kemuliaan ketika dihadapkan pada kepemilikan orang lain. Allah membenci makhluk-Nya yang memunculkan sikap dan bersifat sombong. Kesombongan adalah sifat mutlak Allah yang tidak dibenarkan untuk dimiliki oleh selain-Nya. Manusia yang menyombongkan diri berarti telah merampas sifat mutlak Allah. Ia telah berusaha menyamai Allah yang Maha Kuasa. Dan, berarti mensekutukan Allah yang Maha Tunggal.

“Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para Malaikat : â€کsujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali Iblis ; Ia enggan dan takabur, dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafirâ€? (Q.S. Al Baqarah : 34)

Pengertian sujud pada ayat diatas berarti menghormati dan memuliakan Adam. Bukan diartikan sujud memperhambakan diri, karena jenis sujud terakhir hanyalah semata-mata kepada Allah. Iblis diperintahkah oleh Allah untuk mengakui kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh Adam. Konon, Adam diciptakan dari tanah dan Iblis dari api. Bagi Iblis, api lebih mulia dari tanah yang kotor. Karenanya, perintah Allah tadi ditolak mentah-mentah oleh Iblis dengan anggapan bahwa dia lebih mulia dari Adam dilitik dari asal penciptaannya.

Sifat sombong, takabur dan tinggi hati selalu beranjak dari assumsi bahwa dirinya memiliki kelebihan, keistimewaan, keunggulan dan kemuliaan ketika dihadapkan pada kepemilikan orang lain. Allah membenci makhluk-Nya yang memunculkan sikap dan bersifat sombong. Kesombongan adalah sifat mutlak Allah yang tidak dibenarkan untuk dimiliki oleh selain-Nya. Manusia yang menyombongkan diri berarti telah merampas sifat mutlak Allah. Ia telah berusaha menyamai Allah yang Maha Kuasa. Dan, berarti mensekutukan Allah yang Maha Tunggal. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a, Rasulullah bersabda:

“Jika seorang berkata karena sombong. Celakalah manusia. Maka ia akan menjadi paling binasa�.(H.R.Muslim)

Kesombongan yang berawal dari perasaan “lebih� atas orang lain, yang selanjutnya memunculkan sikap takabur, dan dari sana lalu timbul sikap gampang menganggap rendah orang lain adalah awal dari kerusakan tatanan sosial masyarakat. Islam datang guna menyempurnakan keadaan masyarakat dengan menata aliran dan perputaran interaksi sosial. Tanpa adanya kesamaan hak dan kewajiban setiap anggota masyarakat, niscaya yang berlaku pertama kali dalam masyarakat tersebut adalah ketimpangan. Segala peraturan dalam masyarakat yang didasarkan pada “kontrak-sosial�, begitu pula, tak akan berlangsung mulus tanpa adanya pengakuan martabat setiap peribadi anggotanya. Kesetaraan dan kesejajaran sebagai modal utama kehidupan bermasyarakat akan segera hancur dengan keberadaan beberapa individu anggota masyarakat yang mengedepankan perilaku sombong. Nabi bersabda:

“Sesungguhnya Allah mewahyukan kepada saya supaya kamu bertawadlu’, sehingga tidak seorang-pun menganiaya orang lain, dan tidak seorang-pun menyombongkan diri pada orang lain.�(H.R.Muslim)

Perilaku dan sikap memamerkan amal ibadah, sangat dibenci. Allah berfirman:

“Jangan mengatakan dirimu suci, ia (Allah) yang lebih mengetahui siapakah yang lebih bertaqwa� (An Najam : 32).

Sikap merendahkan diri, tawadlu’, dan tidak mempertontonkan kelebihan yang dimiliki dan amal ibadah yang dikerjakan dihadapan orang lain, pada hakekatnya merupakan sebentuk pangakuan bahwa segalanya dalam alam ini adalah semata berada di tangan Allah. Itulah makna tauhid, pengakuan bahwa penerimaan dan penolakan amal ibadah yang telah kita kerjakan adalah sepenuhnya hak istimewa Allah yang sama sekali berada diluar jangkauan pengetahuan manusia.

Pada suatu masa, kota Baghdad diramaikan dengan kabar kedatangan seseorang yang dikenal oleh masyarakat luas sebagai wali (orang saleh). Guru spiritual dan syekh agung Baghdad, Junaidi Al Baghdadi menjumpai orang tersebut, bertanya : Anda-kah sang wali itu ?. Betul, jawab si tamu. Berdirilah Syekh Junaidi Al Baghdadi, berpidato dihadapan para muridnya. “Orang ini dusta. Tidak ada seorang wali yang mengetahui dirinya sebagai wali. Dan tak ada seorangpun yang boleh mengatakan bahwa dirinya saleh�.

Iblis masuk neraka dan dikutuk oleh Allah untuk selamanya, bukan lantaran dia tidak mempercayai adanya Tuhan (atheis), tapi semata-mata karena prilaku sombong, angkuh, takabur dan tinggi hati.

Wallahu a’lam bisshowab.

(Rizqon Khamami)

Kamis, 23 April 2009

Peringatan Maulid nabi dan Bid'ah




Peringatan Maulid nabi dan Bid'ah
Ditulis oleh Dewan Asatidz
Saya pernah membaca dari buku terbitan kementrian agama Arab Saudi bahwa Peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilakukan dan dicontohkan pada masa Nabi Muhammad SAW maupun pada masa sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW. "Bagaimana dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Indonesia apakah ada hadist yang membenarkannya dan bagaimana sikap kita untuk menghadapi sesuatu yang dikatagorikan bid'ah?"

Tanya Jawab (422) Maulid Nabi s.a.w. dan Bid'ah
=======
Tanya :
=======
Assalaamu'alaikum Wr.Wb.
Ustadz yang saya hormati: Saya pernah membaca dari buku terbitan kementrian agama Arab Saudi bahwa Peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilakukan dan dicontohkan pada masa Nabi Muhammad SAW maupun pada masa sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW. Dalam buku tersebut diperkuat pula dengan hadist-hadist shahih. Yang ingin saya tanyakan adalah: "Bagaimana dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Indonesia apakah ada hadist yang membenarkannya dan bagaimana sikap kita untuk menghadapi sesuatu yang dikatagorikan bid'ah?"
Wassalaamu'alaikum
=======
Jawab :
=======
Assalamua'alikum war. wab.
Ada tradisi umat Islam di banyak negara, seperti Indonesia, Malaysia, Brunai, Mesir, Yaman, Aljazair, Maroko, dan lain sebagainya, untuk senantiasa melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti Peringatan Maulid Nabi SAW, peringatan Isra' Mi'raj, peringatan Muharram, dan lain-lain. Bagaimana sebenarnya aktifitas-aktifitas itu? Secara khusus, Nabi Muhammad SAW memang tidak pernah menyuruh hal-hal demikian. Karena tidak pernah menyuruh, maka secara spesial pula, hal ini tidak bisa dikatakan "masyru'" [disyariatkan], tetapi juga tidak bisa dikatakan berlawanan dengan teologi agama. Yang perlu kita tekankan dalam memaknai aktifitas-aktifitas itu adalah "mengingat kembali hari kelahiran beliau --atau peristiwa-peristiwa penting lainnya-- dalam rangka meresapi nilai-nilai dan hikmah yang terkandung pada kejadian itu". Misalnya, hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Itu bisa kita jadikan sebagai bentuk "mengingat kembali diutusnya Muhammad SAW" sebagai Rasul. Jika dengan mengingat saja kita bisa mendapatkan semangat-semangat khusus dalam beragama, tentu ini akan mendapatkan pahala. Apalagi jika peringatan itu betul-betul dengan niat "sebagai bentuk rasa cinta kita kepada Nabi Muhammad SAW".
Dalam Shahih Bukhari diceritakan, sebuah kisah yang menyangkut tentang Tsuwaibah. Tsuwaibah adalah budak [perempuan] Abu Lahab [paman Nabi Muhammad [SAW]. Tsuwaibah memberikan kabar kepada Abu Lahab tentang kelahiran Muhammad [keponakannya], tepatnya hari Senin tanggal 12 Robiul Awwal tahun Gajah. Abu Lahab bersuka cita sekali dengan kelahiran beliau. Maka, dengan kegembiraan itu, Abu Lahab membebaskan Tsuwaibah. Dalam riwayat disebutkan, bahwa setiap hari Senin, di akhirat nanti, siksa Abu Lahab akan dikurangi karena pada hari itu, hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, Abu Lahab turut bersuka cita. Kepastian akan hal ini tentu kita kembalikan kepada Allah SWT, yang paling berhak tentang urusan akhirat. Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW secara seremonial sebagaimana yang kita lihat sekarang ini, dimulai oleh Imam Shalahuddin Al-Ayyubi, komandan Perang Salib yang berhasil merebut Jerusalem dari orang-orang Kristen. Akhirnya, setelah terbukti bahwa kegiatan ini mampu membawa umat Islam untuk selalu ingat kepada Nabi Muhammad SAW, menambah ketaqwaan dan keimanan, kegiatan ini pun berkembang ke seluruh wilayah-wilayah Islam, termasuk Indonesia. Kita tidak perlu merisaukan aktifitas itu. Aktifitas apapun, jika akan menambah ketaqwaan kita, perlu kita lakukan.
Tentang pendapat Ulama dan Pemerintah Arab Saudi itu, memang benar, sebagaimana yang kami tulis di atas. Tetapi, jika kita ingin 100% seperti zaman Nabi Muhammad SAW, apapun yang ada di sekeliling kita, jelas tidak ada di zaman Nabi. Yang menjadi prinsip kita adalah esensi. Esensi dari suatu kegiatan itulah yang harus kita utamakan. Nabi Muhammad SAW bersabda : 'Barang siapa yang melahirkan aktifitas yang baik, maka baginya adalah pahala dan [juga mendapatkan] pahala orang yang turut melakukannya' (Muslim dll). Makna 'aktifitas yang baik' --secara sederhananya--adalah aktifitas yang menjadikan kita bertambah iman kepada Allah SWT dan Nabi-Nabi-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW, dan lain-lainnya.
Masalah Bid'ah:
Ibnu Atsir dalam kitabnya "Annihayah fi Gharibil Hadist wal-Atsar" pada bab Bid'ah dan pada pembahasan hadist Umar tentang Qiyamullail (sholat malam) Ramadhan "Sebaik-baik bid'ah adalah ini", bahwa bid'ah terbagi menjadi dua : bid'ah baik dan bid'ah sesat. Bid'ah yang bertentangan dengan perintah qur'an dan hadist disebut bid'ah sesat, sedangkan bid'ah yang sesuai dengan ketentuan umum ajaran agama dan mewujudkan tujuan dari syariah itu sendiri disebut bid'ah hasanah. Ibnu Atsir menukil sebuah hadist Rasulullah "Barang siapa merintis jalan kebaikan maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang orang yang menjalankannya dan barang siapa merintis jalan sesat maka ia akan mendapat dosa dan dosa orang yang menjalankannya". Rasulullah juga bersabda "Ikutilah kepada teladan yang diberikan oleh dua orang sahabatku Abu Bakar dan Umar". Dalam kesempatan lain Rasulullah juga menyatakan "Setiap yang baru dalam agama adala Bid'ah". Untuk mensinkronkan dua hadist tersebut adalah dengan pemahaman bahwa setiap tindakan yang jelas bertentangan dengan ajaran agama disebut "bid'ah".
Izzuddin bin Abdussalam bahkan membuat kategori bid'ah sbb : 1) wajib seperti meletakkan dasar-dasar ilmu agama dan bahasa Arab yang belum ada pada zaman Rasulullah. Ini untuk menjaga dan melestarikan ajaran agama.Seperto kodifikasi al-Qur'an misalnya. 2) Bid'ah yang sunnah seperti mendirikan madrasah di masjid, atau halaqah-halaqah kajian keagamaan dan membaca al-Qur'an di dalam masjid. 3) Bid'ah yang haram seperti melagukan al-Qur'an hingga merubah arti aslinya, 4) Bid'ah Makruh seperti menghias masjid dengan gambar-gambar 5) Bid'ah yang halal, seperti bid'ah dalam tata cara pembagian daging Qurban dan lain sebagainya.
Syatibi dalam Muwafawat mengatakan bahwa bid'ah adalah tindakan yang diklaim mempunyai maslahah namun bertentangan dengan tujuan syariah. Amalan-amalan yang tidak ada nash dalam syariah, seperti sujud syukur menurut Imam Malik, berdoa bersama-sama setelah shalat fardlu, atau seperti puasa disertai dengan tanpa bicara seharian, atau meninggalkan makanan tertentu, maka ini harus dikaji dengan pertimbangan maslahat dan mafsadah menurut agama. Manakala ia mendatangkan maslahat dan terpuji secara agama, ia pun terpuji dan boleh dilaksanakan. Sebaliknya bila ia menimbulkan mafsadah, tidak boleh dilaksanakan.(2/585)
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa bid'ah terjadi hanya dalam masalah-masalah ibadah. Namun di sini juga ada kesulitan untuk membedakan mana amalan yang masuk dalam kategori masalah ibadah dan mana yang bukan. Memang agak rumit menentukan mana bid'ah yang baik dan tidak baik dan ini sering menimbulkan percekcokan dan perselisihan antara umat Islam, bahkan saling mengkafirkan. Selayaknya kita tidak membesar-besarkan masalah seperti ini, karena kebanyakan kembalinya hanya kepada perbedaan cabang-cabang ajaran (furu'iyah). Kita diperbolehkan berbeda pendapat dalam masalah cabang agama karena ini masalah ijtihadiyah (hasil ijtihad ulama).
Sikap yang kurang terpuji dalam mensikapi masalah furu'iyah adalah menklaim dirinya dan pendapatnya yang paling benar.
Demikian, semoga membantu
M. Luthfi Thomafi